
BicaraPlus – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengejutkan dunia dengan kebijakan visa H-1B yang kontroversial. Pada Jumat (19/9), ia mengumumkan kenaikan biaya visa H-1B hingga $100.000 atau sekitar Rp1,6 miliar untuk pemohon baru. Pengumuman ini menimbulkan kepanikan di kalangan pekerja asing, mahasiswa internasional, dan perusahaan teknologi di AS, karena biaya tersebut jauh lebih tinggi dibanding median gaji pekerja baru H-1B yang tercatat sekitar $94.000 pada 2023.
Program H-1B selama ini menjadi pintu utama bagi pekerja terampil untuk bekerja di Amerika Serikat, terutama di sektor teknologi, riset, dan kesehatan. India mendominasi dengan lebih dari 70% penerima, China sekitar 12%, sedangkan Filipina banyak masuk ke sektor medis. Indonesia juga berpartisipasi, meski jumlah penerimanya masih relatif kecil. Pekerja Indonesia biasanya mendominasi bidang teknologi, software engineering, data analysis, riset ilmiah, serta sejumlah posisi di startup dan perusahaan multinasional.
Meskipun Gedung Putih kemudian mengklarifikasi bahwa biaya tambahan hanya berlaku untuk pemohon baru dan bersifat sekali bayar, dampaknya tetap signifikan. Kenaikan biaya ini berpotensi memutus jalur pekerja terampil ke AS, memaksa perusahaan mengubah strategi rekrutmen, menunda proyek, menyesuaikan harga layanan, atau bahkan memindahkan pekerjaan ke luar negeri. Hal ini menimbulkan tantangan sekaligus peluang bagi pekerja Indonesia untuk tetap bersinar di dunia teknologi global.
Strategi yang dapat ditempuh pekerja Indonesia meliputi meningkatkan keterampilan di bidang artificial intelligence, machine learning, cybersecurity, cloud computing, dan data science, sehingga lebih kompetitif di pasar global. Selain itu, pekerja dapat memanfaatkan peluang remote work dan freelance untuk perusahaan AS, memanfaatkan jaringan profesional, dan membangun portofolio proyek internasional yang menonjol. Indonesia juga memiliki peluang untuk memperkuat ekosistem teknologi lokal, seperti startup teknologi dan kerja sama internasional, sehingga talenta lokal tetap relevan meski jalur H-1B menjadi lebih mahal.
Kenaikan biaya H-1B juga berdampak pada mahasiswa internasional, termasuk dari Indonesia, yang melihat visa ini sebagai jalur utama untuk bekerja dan menetap di AS setelah lulus. Banyak mahasiswa kemungkinan akan mempertimbangkan alternatif negara lain yang menawarkan jalur kerja lebih terjangkau, seperti Kanada, Australia, atau Eropa. Hal ini bisa menjadi peringatan bagi universitas dan perusahaan AS untuk tetap mempertahankan talenta global melalui kebijakan yang lebih fleksibel.
Meski kebijakan ini membawa ketidakpastian, pekerja Indonesia yang adaptif tetap memiliki peluang besar. Dengan strategi yang tepat, talenta Indonesia bisa tetap menjadi bagian dari inovasi global, berkontribusi di perusahaan teknologi besar, maupun membangun jaringan startup internasional. Kunci utamanya adalah skill tinggi, adaptasi cepat, dan memanfaatkan peluang digital global, sehingga meski jalur tradisional H-1B semakin mahal, Indonesia tetap bersinar di dunia teknologi AS.