Tragedi Museum Bagawanta Bhari: Ketika Demonstrasi Membakar Sejarah

Untitled design 20

“Demonstrasi adalah hak rakyat. Tapi ketika amarah berubah jadi vandalisme, yang terbakar bukan hanya gedung, melainkan sejarah bangsa.”

BicaraPlus – Sabtu malam, 30 Agustus 2025, Kediri mencatat sebuah tragedi yang ironis. Demonstrasi yang seharusnya menjadi ajang menyuarakan aspirasi rakyat, justru berakhir dengan amukan yang merusak fasilitas umum, membakar kantor pemerintah, hingga menyasar warisan sejarah, Museum Bagawanta Bhari.

Museum yang seharusnya menjadi ruang belajar generasi kini berdiri dengan kaca pecah, arca patah, dan koleksi berharga yang lenyap. Dari catatan pemerintah daerah, hilanglah fragmen arca Kepala Ganesha, tiga wastra batik, plakat HVA Sidomulyo, bata berinskripsi, hingga arca Sumbercangkring. Koleksi lain, seperti arca Bodhisatwa dan miniatur lumbung, turut mengalami kerusakan.

Aspirasi yang Tercoreng Anarki

Demonstrasi adalah bagian dari demokrasi. Namun, ketika kemarahan massa diarahkan pada benda-benda budaya, legitimasi tuntutan itu runtuh seketika. Apa hubungan antara menolak kebijakan pemerintah dengan menjarah kain batik atau membakar arca peninggalan leluhur?

Bupati Kediri, Hanindhito Himawan Pramana, menyebut kerusakan museum sebagai luka berat. Dani Satria, pendiri Balai Konservasi Artefak Desa, menegaskan, “Merusak artefak sama dengan menghapus memori kolektif kita.” Kalimat singkat, tapi menohok, siapa pun yang mengamuk di museum sesungguhnya sedang menghapus ingatan bangsanya sendiri.

Nilai yang Tak Bisa Diganti

Artefak bukan sekadar benda kuno yang dipajang di ruang kaca. Ia adalah saksi bisu peradaban, jejak spiritual, sosial, hingga politik bangsa di masa lalu. Hilangnya arca atau bata berinskripsi tidak bisa diukur dengan nominal. Uang ganti rugi mungkin menutup kerusakan fisik, tetapi tidak bisa memulihkan hilangnya memori kolektif.

Kehilangan satu fragmen berarti kehilangan satu bab dari buku sejarah. Jika itu terus terjadi, lambat laun kita hanya akan mewariskan halaman kosong kepada generasi mendatang.

Prihatin yang Terlambat

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan keprihatinan mendalam. Ia menegaskan museum adalah “simbol memori kolektif” dan berjanji melakukan pemulihan. Namun, pertanyaan mendasar tetap menggantung: mengapa perlindungan datang terlambat?

Kasus Kediri bukan yang pertama. Di Surabaya, Gedung Grahadi ikut terbakar; di Bandung, bangunan cagar budaya di Jalan Diponegoro rusak. Pola ini menunjukkan lemahnya proteksi negara terhadap warisan budaya di tengah gejolak sosial.

Luka untuk Jadi Pelajaran

Tragedi Kediri harus menjadi alarm keras. Bahwa dalam setiap demonstrasi, ada garis merah yang tidak boleh dilewati, menyentuh warisan sejarah bangsa. Aspirasi politik bisa dinegosiasikan, tetapi arca, manuskrip, atau kain batik kuno tidak akan pernah bisa kembali jika hilang.

Demonstran boleh marah. Namun, begitu kemarahan berubah menjadi vandalisme terhadap museum, perjuangan itu kehilangan makna. Ia tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan menjadi sekadar ledakan amarah yang merugikan semua pihak.

Menjaga Ingatan, Menjaga Masa Depan

Museum Bagawanta Bhari kini berdiri dengan luka. Sebagian koleksinya hilang, sebagian berhasil diselamatkan. Tetapi luka itu adalah pengingat keras, menjaga artefak bukan hanya tugas kurator atau pemerintah, melainkan tanggung jawab kolektif kita sebagai bangsa.

Seperti diingatkan Menteri Kebudayaan, “Museum adalah milik kita bersama, simbol kemajuan peradaban bangsa.” Maka, marilah kita jaga museum, cagar budaya, dan warisan leluhur, bukan demi masa lalu semata, tetapi demi masa depan.

Sebab bangsa yang kehilangan sejarah, sesungguhnya sedang kehilangan arah.

Bagikan