
BicaraPlus – Apa jadinya kalau kematian dijadikan bahan tertawaan? Banyak orang mungkin akan mengernyit. Tapi di tangan Kristo Immanuel dan sang istri Jessica Tjiu, pertanyaan itu justru berubah jadi film yang segar, lucu, sekaligus getir: Tinggal Meninggal.
Di tengah banjir film horor konvensional dan drama cinta-cintaan, Tinggal Meninggal hadir sebagai anomali. Judulnya memang terdengar seperti horor, tapi isi film ini bermain di wilayah yang jauh lebih sulit: dark comedy. Dan justru di situlah keberaniannya.
Dark Comedy: Jenis Humor yang Menyakitkan
Komedi gelap selalu punya tugas ganda: bikin kita tertawa, tapi juga bikin kita merasa bersalah dengan tawa itu. Tinggal Meninggal berhasil menunaikan keduanya. Kita tergelak, tapi juga tersadar betapa rapuh manusia ketika berhadapan dengan rasa sakit, kehilangan, bahkan kematian.
Ini bukan tawa ringan ala slapstick. Ini tawa getir yang menempel lama di kepala.
Omara dan Jared Ali: Dua Generasi Gema
Tak mungkin bicara Tinggal Meninggal tanpa menyebut Omara Naidra Esteghlal. Sebagai Gema dewasa, karakter yang “sakit” secara emosional, kekasih Prilly Latuconsia tersebut tampil presisi. Tidak berlebihan, tidak terjebak karikatur. Ia membuat Gema yang absurd sekaligus tragis terasa manusiawi. Energinya menjembatani absurditas film dengan sisi reflektifnya. Singkatnya, Omara menghidupkan film ini.
Menariknya, akting Jared Ali sebagai Gema kecil juga sukses mencuri perhatian. Dengan keluguan sekaligus kejenakaannya, Jared mampu memberi lapisan tambahan: ia membuat penonton terhibur, tapi juga tersentil, karena dari kecil kita sudah bisa melihat benih-benih “sakit” yang akan tumbuh di diri Gema. Jared memberikan kontras yang segar, seakan menjadi cermin kecil bagi kompleksitas karakter utama.
Film yang Menghibur, Tapi Juga Menggugah
Siapa pun yang menonton Tinggal Meninggal akan terhibur, tapi hiburan itu datang dengan bonus: obrolan panjang setelahnya. Film yang juga dibintangi oleh Nirina Zubir dan Mawar de Jongh ini bicara tentang keluarga, rasa sakit, hingga cara kita memandang hidup dan mati—semuanya lewat humor getir.
Sayangnya, film ini kurang mendapat animo besar. Per 29 Agustus 2025, baru menyentuh 17.000 penonton. Padahal film ini layak meraih jutaan. Publik kita lebih akrab dengan horor yang gampang ditebak atau komedi receh. Sementara Tinggal Meninggal menuntut penonton untuk merenung setelah tertawa. Dan itu tantangan besar.
Mengapa Layak Dihidupkan Lagi
Indonesia punya tradisi humor yang kaya. Komedi gelap seharusnya bisa punya ruang lebih besar. Tinggal Meninggal membuktikan genre ini bisa menghibur sekaligus reflektif. Film ini adalah usaha segar dalam lanskap film kita, yang sayangnya tidak disambut sebesar semestinya.
Mungkin penontonnya tidak banyak. Tapi mereka yang sudah menonton akan pulang dengan sesuatu yang lebih dari sekadar tawa: sebuah percakapan, sebuah refleksi, sebuah senyum getir yang tetap terngiang bahkan setelah lampu bioskop menyala.
Dan bukankah itu tujuan sejati sebuah film?