
BicaraPlus – Pernahkah Anda berpikir, mengapa sepotong kecil sushi bisa membuat orang rela antre panjang di restoran Jepang? Jawabannya sederhana: karena sushi bukan sekadar makanan, melainkan karya seni yang bisa dimakan.
Sejarah sushi dimulai ratusan tahun lalu, ketika masyarakat Jepang mencari cara mengawetkan ikan. Mereka menyimpan ikan bersama nasi yang difermentasi, disebut narezushi. Dari situlah lahir cikal bakal sushi yang kita kenal hari ini. Hingga abad ke-19, seorang pedagang di Edo (Tokyo) menciptakan nigiri sushi, nasi kecil dengan ikan segar di atasnya. Praktis, lezat, dan cepat disantap.
Kini, sushi berkembang menjadi banyak bentuk. Ada nigiri, simbol klasik kesederhanaan; maki, gulungan nasi dan nori yang penuh kejutan hingga fusion sushi ala Barat seperti California Roll yang berisi alpukat dan kepiting. Bahkan, ada juga aburi sushi yang dibakar ringan untuk menciptakan aroma smoky yang menggoda.

Namun, pesona sushi tidak hanya pada rasanya. Ia adalah pelajaran tentang harmoni. Chef sushi tidak asal memotong ikan atau menyusun nasi; setiap detail diperhitungkan: ketebalan ikan, kelembutan nasi, hingga sentuhan wasabi yang pas. Semuanya mencerminkan filosofi Jepang keseimbangan, presisi, dan kesederhanaan.
Menikmati sushi pun ada seninya. Celupkan hanya sedikit bagian ikan ke kecap asin, jangan bongkar gulungan, dan biarkan rasa asli berbicara. Bahkan, di restoran tradisional, Anda bisa menyantap sushi dengan tangan, bukan sumpit inilah cara paling autentik untuk merasakan tekstur nasi dan ikan menyatu.
Sushi hari ini bukan lagi milik Jepang saja. Ia hadir di seluruh dunia, menyesuaikan lidah lokal tapi tetap membawa pesan yang sama: bahwa kesempurnaan tidak selalu besar dan megah, melainkan bisa hadir dalam sepotong kecil yang sederhana.
Jadi, saat Anda menggigit sushi berikutnya, bayangkan bahwa yang Anda nikmati bukan sekadar nasi dan ikan. Anda sedang menyelami ratusan tahun sejarah, budaya, dan filosofi hidup yang dibungkus dalam harmoni rasa.