Politik, Satir, dan Cinta Segitiga: Teater Gardanalla Kembali ke Salihara Lewat “Bertiga tapi Berempat”

Setelah mencuri perhatian dalam sesi Work In Progress di panggung SIPFest 2024, Teater Gardanalla kembali ke Teater Salihara, membawa sesuatu yang bukan hanya baru, tetapi juga menohok. Beberapa waktu lalu, kelompok ini mementaskan Bertiga tapi Berempat, sebuah lakon yang memadukan sejarah, humor gelap, dan politik, dalam balutan metateater yang menggelitik intelektualitas penonton.

Lakon ini bukan karya baru sepenuhnya. Ia lahir dari rahim Bertiga, sebuah naskah yang pertama kali dipentaskan pada 2009. Namun di tangan Joned Suryatmoko, penulis dan sutradara yang telah lama dikenal sebagai penggali ironi sosial-politik melalui teater, naskah itu bukan sekadar dihidupkan kembali, melainkan dijungkirbalikkan, didekonstruksi, dan dihadirkan sebagai refleksi atas cara kita mengingat, mengarang, bahkan memanipulasi sejarah.“Dalam Berempat tahun 2025 ini, naskah Bertiga yang awalnya hanya dimainkan oleh tiga karakter, kini dibawakan oleh empat aktor secara bergantian. Ini bukan hanya keputusan artistik, tapi bagian dari kerangka metateater, kita tidak hanya menonton cerita, tetapi juga bagaimana cerita itu dimainkan,” ujar Joned.

Metateater atau “teater dalam teater”, di sini bukan hiasan intelektual, melainkan instrumen kritis. Penonton diajak untuk melihat lapisan demi lapisan pementasan, memahami bagaimana peristiwa dibingkai, diatur, dan dihidangkan ulang dalam bentuk yang tampak jenaka, tapi sesungguhnya getir.Cerita yang disampaikan pun tidak main-main. Bertiga tapi Berempat membawa penonton 13 tahun setelah peristiwa pembakaran majalah Gatra di depan Grha Sabha Pramana, Kampus UGM Yogyakarta.

Tiga orang yang terlibat, baik langsung maupun tidak, dipertemukan kembali dalam situasi absurd: mereka hendak “bercinta bertiga.” Dari situ, perlahan-lahan terkuak motif, luka, dan interpretasi yang berbeda atas masa lalu. Seperti politik itu sendiri: tak pernah utuh, tak pernah satu versi.“Lakon ini bukan tentang siapa salah, siapa benar. Ini tentang bagaimana kita menyusun narasi, bagaimana nostalgia bisa dipelintir, dan bagaimana sejarah pribadi maupun publik kerap kali digunakan demi kepentingan tertentu,” jelas Joned, dengan nada yang tenang tapi tajam.

Dalam pementasan ini, aktor tidak diminta untuk “menjadi karakter.” Mereka diminta untuk menjadi sadar atas tubuhnya, atas cerita yang mereka bawa, dan atas peristiwa yang mereka wakili. Inilah panggung yang bukan sekadar hiburan, tetapi medan dialektika.Setelah tahun-tahun politik yang panas, dari Pemilu ke Pemilu, dari debat publik hingga perang narasi di media sosial, kita butuh ruang semacam ini. Ruang yang tidak hanya menyajikan politik sebagai tontonan, tetapi juga sebagai sesuatu yang bisa kita tanggapi secara reflektif dengan tawa, dengan renungan, bahkan dengan rasa jengah.

Bagikan