
Setiap hari ribuan kendaraan melintas di Jalan Margonda Raya, poros utama Kota Depok. Bagi sebagian besar orang, nama “Margonda” mungkin sekadar penanda lokasi: macetnya Depok, deretan mal, atau deru kendaraan yang tak pernah berhenti. Namun di balik nama itu, tersimpan kisah seorang anak bangsa yang rela menyerahkan hidupnya demi Merah Putih.
Margonda atau nama aslinya Margana adalah pahlawan lokal yang namanya jarang disebut dalam buku pelajaran sejarah. Kisahnya tidak sepopuler Jenderal Sudirman atau Pangeran Diponegoro, tetapi keberaniannya menegakkan kedaulatan republik sama heroiknya.
Penantian yang Tak Pernah Usai
Kabut pagi turun perlahan di Stasiun Bogor, tahun 1940-an. Kereta uap dengan suara menderu datang dan pergi, membawa penumpang dengan wajah-wajah lelah. Di salah satu sudut peron, seorang perempuan muda berdiri, mengenakan kebaya sederhana, menggandeng anak perempuannya yang masih kecil. Matanya selalu mencari-cari di antara kerumunan, seolah berharap ada sosok yang ia kenal turun dari gerbong.
Namanya Maemunah. Ia menunggu suaminya, Margonda. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, ia pulang dengan tangan hampa. Penantiannya tak pernah berakhir. Margonda tak pernah kembali.
Suaminya gugur di Depok, kabar itu sampai kepadanya tanpa jasad, tanpa pusara. Cinta yang ia simpan bertemu dengan pengorbanan yang terlalu besar.
Dari Atlet, Ilmuwan, Hingga Laskar
Margonda muda adalah sosok berbakat. Ia dikenal sebagai atlet berprestasi di masa sekolah, lalu menempuh pendidikan sebagai analis kimia di Balai Penyelidikan Kimia Bogor. Tak berhenti di situ, semangat terbang tinggi membawanya ke kursus penerbangan cadangan Belanda, tempat yang juga pernah diikuti Agustinus Adisutjipto.
Namun, sejarah berkata lain. Pendudukan Jepang pada 1942 mengubah jalan hidup Margonda. Ia sempat bekerja di lembaga pertanian, lalu menikah dengan Maemunah pada 1943. Begitu proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, darah mudanya tak bisa lagi diam. Ia ikut membentuk Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI), memimpin pemuda Bogor dan Depok, lalu bergabung dengan BKR.
Gedoran Depok dan Serangan Kilat
Depok saat itu bukan wilayah biasa. Sejak abad ke-18, tanah Depok diwariskan oleh tuan tanah Belanda, Cornelis Chastelein, kepada 12 marga budak yang hidup ala Eropa. Setelah Indonesia merdeka, kelompok “Belanda Depok” enggan bergabung dengan republik. Maka pecahlah pertempuran.
11 Oktober 1945, sejarah mencatat peristiwa Gedoran Depok, para pejuang berusaha merebut Depok. Namun, pasukan NICA kembali masuk. Pertempuran berlanjut pada 16 November 1945, di Kali Bata, Depok. Operasi ini dikenal sebagai Serangan Kilat.
Senja belum turun, tapi langit Depok sudah dipenuhi asap mesiu. Dentuman senjata terdengar bersahut-sahutan. Di antara suara tembakan, seorang pemuda berusia 27 tahun berlari menyusuri semak, granat tergenggam erat di tangannya. Nafasnya memburu, matanya tajam menatap ke depan. “Untuk Indonesia,” mungkin itulah yang terlintas dalam hatinya.
Namun, peluru menembus dadanya sebelum sempat melempar granat itu. Ledakan terjadi. Tubuhnya hancur bersama mimpi tentang rumah yang tak pernah sempat ia datangi kembali. Namanya: Margonda.
Abadi dalam Nama Jalan
Tak banyak catatan tersisa tentang jasad Margonda. Ada yang menyebut ia dimakamkan bersama pejuang lain, ada yang mengatakan hilang tanpa jejak. Yang pasti, semangatnya tak pernah hilang.
Puluhan tahun kemudian, kendaraan berderet di jalan utama Kota Depok. Lampu lalu lintas menyala, klakson bersahut-sahutan, dan deru mesin tak henti-henti. Di papan jalan tertulis nama: Jl. Margonda Raya.
Bagi sebagian orang, itu hanya nama jalan. Tapi sejatinya, setiap kali kita menyebut “Margonda”, kita sedang memanggil kembali kisah seorang pemuda yang memilih mati muda demi republik.
Mengingat yang (Hampir) Terlupakan
Di tengah gegap gempita perayaan kemerdekaan ke-80 tahun ini, kisah Margonda mengingatkan kita bahwa kemerdekaan tidak pernah gratis. Ada darah, cinta, dan penantian yang ditinggalkan di baliknya.
Bagi Depok, nama Margonda adalah pengingat bahwa sejarah besar republik ini juga ditopang oleh kisah-kisah kecil dari pahlawan lokal. Pahlawan yang mungkin tak dikenal luas, tetapi pengorbanannya sama tulus.
Margonda memang tak pernah pulang. Tapi setiap kali kita melewati jalan itu, sejatinya kita sedang berjalan di atas jejaknya.
…
Fakta Singkat tentang Margonda
Nama asli: Margana (lebih dikenal dengan nama Margonda)
Lahir: Sekitar 1918 (perkiraan, berdasarkan usia gugur 27 tahun)
Pendidikan: Balai Penyelidikan Kimia Bogor (Analysten Cursus); Pelatihan penerbangan cadangan Belanda (Luchtvaart Afdeeling)
Pekerjaan: Analis kimia, kemudian pegawai lembaga pertanian Bogor pada masa Jepang
Keluarga: Maemunah (istri), Jofiatini (anak)
Peran dalam kemerdekaan: Pendiri dan pemimpin Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) di Bogor & Depok; Bergabung dengan BKR, pasukan Batalion I di Depok
Pertempuran penting: Gedoran Depok (11 Oktober 1945); Serangan Kilat di Kali Bata, Depok (16 November 1945)
Gugur: 16 November 1945, usia 27 tahun
Warisan: Namanya diabadikan sebagai Jalan Margonda Raya, jalan utama Kota Depok