Setelah Parasetamol, Kini Metformin Ditemukan di Perairan Jakarta

IMG 20251123 WA0012

BicaraPlus — Polusi perairan di Jakarta ternyata tidak lagi sekadar sampah padat dan limbah industri konvensional. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa ekosistem air ibu kota kini dibebani oleh residu obat-obatan farmasi, menjadikannya jenis polutan baru yang mengancam siklus air domestik.

Temuan ini disampaikan oleh Wulan Koagouw, Senior Researcher di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dalam sebuah laporan yang diterbitkan di The Conversation (14/11), Wulan merinci temuan terbarunya, yang menyusul deteksi material acetaminophen (parasetamol) di Teluk Jakarta pada riset tahun 2021.

Riset terbaru yang dilakukan Wulan bersama tim peneliti dari BRIN, Laboratorium Kesehatan DKI Jakarta, serta dua universitas di Inggris, menemukan keberadaan metformin di tiga dari enam titik sampel di Sungai Angke pada Juni 2022.

Metformin adalah obat yang umum digunakan untuk mengontrol kadar gula darah penderita diabetes tipe 2. Masalah utamanya terletak pada sifat kimiawi obat tersebut tidak seperti obat pada umumnya, metformin tidak hancur diolah oleh tubuh manusia dan keluar hampir utuh melalui urine.

Di kota metropolitan seperti Jakarta, fakta ini sangat krusial. Sebagian besar limbah dari toilet domestik, yang membawa residu metformin dari urine, berakhir di sungai tanpa melalui proses pengolahan yang memadai. Sungai Angke, yang memang sudah menerima beban pencemaran tinggi dari limbah domestik, industri, dan sampah padat, kini harus menanggung beban polutan farmasi ini.

Kadar yang Mengkhawatirkan Secara Global

Analisis kualitas air yang dilakukan tim di enam titik sampel Sungai Angke menunjukkan tingkat pencemaran yang bervariasi, berkisar antara 27 hingga 414 nanogram per liter (ng/L). Titik sampel dengan kadar metformin tertinggi juga ditandai dengan kekeruhan air dan konsentrasi mangan (unsur logam) yang sangat tinggi.

Walaupun kadarnya mungkin lebih rendah dibandingkan temuan di beberapa negara lain, Wulan memperingatkan bahwa temuan ini tidak bisa disepelekan.

Kadar terendah metformin di Sungai Angke lebih tinggi daripada 5% data sungai di dunia.

Kadar tertinggi metformin di Sungai Angke lebih tinggi daripada 40% data global.

Temuan ini cukup mengkhawatirkan, mengingat studi-studi ilmiah telah membuktikan bahwa metformin dapat memicu efek biologis negatif pada organisme air, bahkan pada kadar rendah (sekitar 100 ng/L). Contohnya, metformin dapat menyebabkan gangguan reproduksi dan kerusakan jaringan pada kerang biru (Mytilus edulis), serta menghambat perkembangan embrio, pertumbuhan, dan metabolisme ikan.

Ancaman Balik ke Rantai Makanan Manusia

Dampak jangka panjang yang paling mengkhawatirkan adalah sifat metformin yang sulit terurai secara alami. Tanpa degradasi yang sempurna, senyawa kimia ini dan produk turunannya (guanylurea) dapat dengan mudah terakumulasi.

Air sungai yang terkontaminasi ini berpotensi digunakan untuk irigasi pertanian atau perikanan. Konsekuensinya, residu metformin dapat kembali masuk ke tubuh manusia melalui air minum, ikan, atau sayuran yang menggunakan air tercemar tersebut. Paparan jangka panjang terhadap residu ini menimbulkan risiko serius bagi kesehatan manusia, yang dampaknya masih terus dalam penelitian.

Wulan Koagouw menyimpulkan bahwa temuan parasetamol dan kini metformin merupakan indikasi jelas bahwa obat-obatan telah menjadi varian polutan baru dalam siklus air yang masyarakat gunakan sehari-hari. Ia mendesak perlunya regulasi yang memasukkan obat-obatan farmasi, seperti metformin, ke dalam daftar resmi zat berbahaya yang diatur dalam standar baku mutu air sungai dan limbah di Indonesia.

Ilustrasi Freepik

Bagikan