
Pernahkah Anda berada di tengah pawai desa atau karnaval jalanan, lalu tiba-tiba dada terasa bergetar karena gelombang suara yang sangat keras dari kejauhan? Itulah yang disebut dengan sound horeg, sebuah fenomena akustik yang tak hanya memekakkan telinga, tetapi juga mengguncang budaya hiburan rakyat di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Timur.
Apa Itu Sound Horeg?
Sound horeg adalah rangkaian sistem tata suara berdaya tinggi yang mampu menghasilkan volume lebih dari 135 desibel, cukup untuk mengguncang tanah di sekitarnya. Biasanya, musik yang dimainkan meliputi dangdut koplo, campursari, remix DJ, hingga house music. Namun lebih dari sekadar volume, sound horeg adalah bagian dari ekspresi budaya komunitas yang tumbuh di akar rumput.
Istilah “horeg” sendiri diyakini berasal dari bahasa Jawa, yang berarti “bergerak” atau “bergetar”. Maka tidak heran jika sistem ini dirancang untuk membuat seisi jalan—dan tubuh pendengar—bergetar. Dalam konteks budaya, sound horeg bukan sekadar suara; ia adalah dentuman kolektif yang menyatukan massa dalam suasana pesta rakyat.
Dari Sholawatan ke Karnaval
Fenomena sound horeg pertama kali mencuat ke permukaan sekitar awal tahun 2000-an. Awalnya, sound system berdaya besar digunakan dalam acara sholawatan dan pengajian keliling di desa-desa, sebagai alat bantu pengeras suara agar bisa menjangkau warga yang tersebar di berbagai sudut kampung.
Namun titik balik yang membuat sound horeg dikenal luas terjadi pada tahun 2014, di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Saat itu, sebuah pawai rakyat menggunakan truk yang membawa speaker besar, memutar musik remix keras-keras sepanjang jalan. Respon publik luar biasa: sebagian merasa antusias, sebagian lagi mengeluh karena polusi suara. Tetapi satu hal pasti, sound horeg telah lahir sebagai ikon baru hiburan jalanan.
Dalam beberapa tahun, tren ini menyebar ke kota dan kabupaten lain seperti Blitar, Jember, Tulungagung, hingga Banyuwangi. Tak hanya di acara syukuran desa, sound horeg mulai tampil di hajatan, parade, konser rakyat, hingga festival tahunan.
Ciri-ciri Sound Horeg
Apa yang membedakan sound horeg dari sistem audio lainnya? Berikut ciri khas yang biasanya melekat pada sistem ini:
Skala Besar
Sound horeg bukan speaker biasa. Sistem ini terdiri dari susunan speaker besar (woofer, subwoofer, tweeter) yang sering kali dibawa menggunakan truk atau mobil bak terbuka.
Suara Menggelegar
Volume suara bisa mencapai atau bahkan melampaui 135 dB. Tak hanya terdengar, dentumannya bisa terasa di tanah dan dada pendengar. Radius jangkauan suara bisa mencapai hingga 7 kilometer.
Visual yang Mewah dan Meriah
Banyak sistem sound horeg dihias lampu strobo, LED, hingga efek visual yang memukau. Tidak jarang, truk pembawa sound ini juga dihias seperti panggung berjalan.
Digunakan untuk Acara Komunitas
Sound horeg lazim digunakan untuk pawai, perayaan desa, ulang tahun komunitas motor, hingga konser jalanan. Ia bukan milik industri, tapi milik rakyat.
Biaya Produksi dan Sewa Tinggi
Membangun satu set sound horeg bisa menelan biaya hingga puluhan juta rupiah. Tak heran, penyewaannya pun mahal—tergantung kapasitas dan popularitas vendor.

Kemiripan dengan Budaya India
Menariknya, fenomena serupa ternyata juga ditemukan di India, khususnya di wilayah Paschim Medinipur, India Timur. Di sana, budaya “Dek Bass” sudah eksis sejak awal 2000-an dalam bentuk parade dan festival musik jalanan. Bahkan, baru-baru ini viral di media sosial video dari India yang memperlihatkan operator sound system membongkar tenda warga yang menghalangi jalan truk sound mereka, sebuah pemandangan yang tak asing bagi warga di Malang atau Blitar saat musim karnaval tiba.
Fenomena lintas budaya ini menimbulkan diskusi menarik: apakah sound horeg merupakan adopsi dari tren luar atau tumbuh organik di tengah masyarakat lokal? Jawabannya mungkin ada di tengah-tengah. Yang jelas, kultur audio keras ini kini menjadi bagian tak terpisahkan dari cara masyarakat mengekspresikan diri dalam ruang publik.
Budaya Rakyat atau Polusi Suara?
Meski populer, sound horeg tidak lepas dari kontroversi. Banyak warga mengeluhkan gangguan suara, terutama ketika pawai berlangsung hingga larut malam atau melintas di kawasan padat penduduk. Beberapa kejadian bahkan berujung ricuh, seperti insiden di Malang ketika peserta pawai dan warga adu jotos akibat protes suara bising.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius soal regulasi. Apakah pemerintah daerah harus membuat aturan tegas soal batas desibel dan jam operasional? Atau justru memberi ruang untuk berkembangnya budaya rakyat ini dengan pendekatan yang lebih edukatif dan partisipatif?
Dentuman yang Membelah Waktu
Sound horeg mungkin hanya suara keras bagi sebagian orang. Tapi bagi komunitas di belakangnya, ini adalah medium ekspresi, sumber penghidupan, dan bagian dari identitas kultural yang tumbuh dari bawah.
Entah sebagai simbol pesta, bentuk seni, atau bahkan alat perlawanan terhadap kesunyian desa yang monoton, sound horeg telah membuktikan dirinya sebagai lebih dari sekadar dentuman. Ia adalah denyut zaman, yang berbunyi keras di tengah keramaian rakyat.