Pramono Anung dan Epilog Kekuasaan

Untitled design 81

BicaraPlus – Dalam lanskap politik Indonesia yang acap kali menuntut ambisi tanpa batas, di mana jabatan sering dianggap sebagai tangga yang harus dipanjat tanpa henti, pernyataan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung terdengar seperti anomali. Setelah memimpin ibu kota selama satu periode, politikus senior PDI Perjuangan ini secara tegas mengumumkan epilog karier politik dan birokrasinya. Keputusan ini bukan lahir dari kegagalan, melainkan dari sebuah kepuasan personal terhadap dharma bakti yang telah ditunaikan. Jakarta, bagi Pramono, adalah garis finis yang ia tetapkan sendiri, mengakhiri jejak panjang pengabdian yang sudah berlanjut selama seperempat abad lebih.

Pramono Anung menyampaikan tekadnya tersebut di hadapan publik, dikutip pada Sabtu (11/10), bahwa ia tidak memiliki hasrat berlebih untuk terus menduduki kursi kekuasaan. Jakarta hanyalah jeda terakhir sebelum ia benar-benar beristirahat.

Keputusan untuk membatasi diri hanya pada satu periode jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta didasarkan pada perhitungan yang matang dan rasa ‘selesai’ dengan diri sendiri. Fakta menunjukkan, Pramono Anung bukan figur baru di panggung negara. Karier politik dan birokrasinya terentang begitu panjang, pernah menjadi anggota DPR RI, menjabat di era Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo, dan kini orang nomor 1 di DKI Jakarta.

Bila ditotal, Pramono Anung telah berkarier di pemerintahan maupun politik selama lebih dari tiga dekade. “Saya sudah menjadi pejabat terlalu lama, 25 tahun tak pernah putus. Kemudian tambah lima tahun jadi gubernur. Sudahlah,” ujarnya lugas.

Menariknya, Pramono Anung mengungkapkan bahwa jabatan Gubernur DKI Jakarta justru bukan cita-cita yang pernah ia bayangkan. Keinginan awalnya, setelah menuntaskan tugas-tugas di tingkat nasional, adalah menikmati masa tua yang tenang, bermain bersama cucu-cucunya, jauh dari hiruk-pikuk politik ibu kota.

Oleh karena itu, keputusannya untuk hanya menjabat satu periode di Jakarta menjadi penegasan bahwa motivasinya bukan mencari panggung politik lanjutan, melainkan menyelesaikan tugas yang diamanahkan, kemudian mundur teratur.

Meskipun telah menetapkan garis akhir, Pramono Anung berjanji untuk tetap memaksimalkan sisa masa jabatannya. Sikap profesional ini ditunjukkan dengan fokusnya pada penuntasan isu-isu krusial yang diwariskan dari pemerintahan sebelumnya.

Salah satu yang secara spesifik ia sebut adalah penyelesaian masalah Kampung Bayam. Kasus tersebut merupakan salah satu simbol dari persoalan-persoalan sosial dan administrasi yang kerap berlarut-larut di ibu kota.

Keputusan Pramono Anung untuk mengakhiri karier setelah Jakarta memberikan pesan yang jernih dalam dunia politik: ada nilai yang lebih tinggi daripada perpanjangan kekuasaan, yaitu kepuasan atas dharma yang tuntas dan waktu untuk diri sendiri setelah pengabdian panjang. Jakarta, dengan segala kompleksitasnya, menjadi epilog yang ia pilih sendiri, menutup lembar demi lembar sejarah karier politiknya dengan elegan dan terukur.

Bagikan