
BicaraPlus – Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan, Indonesia saat ini berada dalam periode defisit energi. Konsumsi domestik jauh lebih tinggi ketimbang produksi, sebuah realitas yang memaksa negara menengok pintu impor. Namun, dari panggung yang sama, PT Pertamina (Persero) menegaskan bahwa realitas itu kini sedang diubah. BUMN energi ini berkomitmen penuh untuk menjadi tulang punggung dalam visi besar negara menuju kemandirian energi.
Sinergi BUMN-Pemerintah Menuju Asta Cita
Komitmen tersebut ditegaskan oleh Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, pada acara yang berlangsung di Jakarta, Selasa, 7 Oktober 2025. Simon menyatakan bahwa strategi bisnis Pertamina akan selaras dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan kemandirian energi sebagai prioritas utama.
“Sesuai Asta Cita Presiden Prabowo, Pertamina berkomitmen mendukung kemandirian pangan, energi, dan air. Kami menjalankan strategi dual growth. Pertama, memaksimalkan bisnis eksisting, kedua, mengembangkan bisnis rendah karbon,” terang Simon.
Strategi dual growth ini diterjemahkan Pertamina ke dalam langkah-langkah konkret, pertama memaksimalkan Bisnis Eksisting: Pertamina melalui subholding upstream berupaya meningkatkan produksi minyak dan gas. Di sisi hilir, penguatan kapasitas kilang menjadi kunci. Proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan ditargetkan beroperasi pada November 2025.
Simon menjelaskan, “Proyek RDMP Balikpapan akan meningkatkan kapasitas pengolahan, menghasilkan produk berkualitas tinggi setara standar Euro 5, dan mengurangi ketergantungan impor BBM.”
Kedua, mengembangkan Bisnis Rendah Karbon: Pertamina telah meluncurkan produk Pertamax Green 95—BBM dengan campuran 5 persen bahan bakar nabati etanol (E5). Selain itu, Pertamina terus mengembangkan panas bumi (geothermal), di mana Indonesia kini memiliki kapasitas terpasang terbesar kedua di dunia.
Defisit Solar Ditekan, Target Impor Nol di 2025
Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memaparkan data pendukung mengenai tekanan impor yang harus diatasi. Bahlil menyoroti sektor solar sebagai isu kritis yang kini mulai terkendali.
“Untuk menutupi defisit solar, pemerintah mendorong penerapan B40, yakni campuran 40 persen CPO dengan solar murni. Tahun ini, impor solar sudah turun menjadi sekitar 4 juta ton per tahun, dan tahun 2025 ditargetkan meningkat ke B50, sehingga Indonesia tidak perlu impor solar lagi,” jelas Bahlil.
Bahlil menambahkan bahwa kemandirian energi juga didukung percepatan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti tenaga surya, angin, air, dan panas bumi. Dengan sinergi antara kebijakan pemerintah dan implementasi bisnis Pertamina, tujuan menuju Indonesia yang tangguh dan mandiri energi diharapkan dapat tercapai.