
BicaraPlus – Presiden Israel Isaac Herzog dikonfirmasi telah menerima surat resmi dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang mendesak Herzog untuk mengeluarkan pengampunan bagi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, sekutu dekatnya, dari dakwaan kasus dugaan korupsi yang telah membelitnya sejak 2019.
Tindakan Trump bukan kali pertama. Sebelumnya, dalam pidatonya di hadapan Parlemen (Knesset) pada kunjungan ke Israel Oktober lalu, Trump juga secara terbuka telah mendesak Herzog agar pengampunan diberikan. Dalam suratnya, Trump menyuarakan keyakinan yang tegas bahwa Netanyahu tidak bersalah.
“Meskipun saya sangat menghormati independensi Sistem Peradilan Israel, dan persyaratannya, saya yakin bahwa ‘kasus’ terhadap Bibi [Netanyahu] ini… adalah penuntutan politik yang tidak dapat dibenarkan,” tulis Trump, merujuk pada kerja sama panjang mereka, termasuk dalam isu strategis melawan Iran.
Narasi tentang “persekusi politik” ini sejalan dengan pembelaan Netanyahu sendiri, yang berulang kali menyangkal tuduhan suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan (Kasus 1000, 2000, dan 4000) yang didakwakan padanya pada tahun 2019. Netanyahu menanggapi dukungan ini dengan apresiasi, berharap kemitraan antara Israel dan AS semakin kuat.
Di tengah desakan dari pemimpin negara adidaya, respons Kantor Kepresidenan Israel, yang dilansir Reuters, adalah sebuah penegasan prosedural yang bernas.
Kantor Presiden menegaskan bahwa siapa pun yang mengajukan pengampunan presiden harus mengajukan permintaan resmi sesuai dengan prosedur yang ditetapkan.
Penjelasan ini, meskipun terdengar diplomatis, secara implisit membawa dua makna penting dalam kerangka hukum Israel:
Pengampunan Bukan Kunci Politik: Keputusan untuk memberikan pengampunan bukanlah keputusan politik murni yang dapat dipenuhi hanya karena permintaan dari sekutu internasional, sekuat apa pun Trump.
Syarat Prosedural: Berdasarkan hukum Israel, presiden memiliki otoritas untuk memberikan grasi atau meringankan hukuman. Namun, proses ini umumnya mensyaratkan adanya permintaan resmi dari pihak yang didakwa. Lebih krusial lagi, sumber hukum menunjukkan bahwa salah satu syarat utama untuk pengampunan adalah pengakuan bersalah dan penyesalan atas tindakan yang dilakukan, syarat yang hingga kini secara konsisten ditolak oleh Netanyahu yang terus menyangkal semua tuduhan.
Dengan respons ini, Presiden Isaac Herzog secara efektif menempatkan kembali wacana pengampunan di jalur hukum Israel, menanggapi tekanan politik global dengan otoritas prosedur. Ia mengisyaratkan bahwa, terlepas dari desakan pribadi dari Trump, pintu grasi hanya dapat dibuka jika Netanyahu, atau setidaknya pengacaranya, mematuhi mekanisme hukum yang berlaku, termasuk kemungkinan mengakui kesalahannya, sebuah langkah yang secara politik hampir mustahil untuk dilakukan oleh Netanyahu dalam waktu dekat.
Dilema ini menyisakan pertanyaan tentang batas intervensi diplomatik dan integritas sistem peradilan suatu negara, di mana nasib hukum seorang perdana menteri aktif kini terikat pada dinamika kekuasaan transnasional.





