MUI Tetapkan Fatwa Pajak Berkeadilan: Pungutan PBB Resahkan Warga, Hanya Boleh Dikenakan pada Harta Produktif

046129300 1763911061 WhatsApp Image 2025 11 23 at 16.20.33 e38aafc7

BicaraPlus – Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi telah menyentuh jantung diskursus fiskal negara melalui penetapan Fatwa Pajak Berkeadilan. Keputusan fundamental ini lahir dari gelaran Musyawarah Nasional (Munas) MUI yang berlangsung intensif pada 20–23 November 2025, menjadi respons keagamaan atas gonjang-ganjing kebijakan publik.

Bukan tanpa alasan. Menurut Ketua MUI Bidang Fatwa Prof. Dr. Asrorun Niam Sholeh, fatwa ini merupakan gema atas keluhan publik yang terperangkap dalam lingkar kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dinilai jauh dari asas kepatutan dan keadilan.

“Fatwa ini ditetapkan sebagai respons hukum Islam terhadap masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan PBB yang dinilai tidak adil, sehingga meresahkan masyarakat. Kami berharap fatwa ini menjadi solusi konkret untuk perbaikan regulasi,” terang Niam dalam keterangan tertulis, belum lama ini.

Niam Sholeh memaparkan tesis utama di balik fatwa tersebut bahwa objek pajak idealnya hanya menyasar pada harta yang memiliki potensi produktif yang masuk kategori kebutuhan sekunder dan tersier. Implikasinya jelas, pungutan yang membebani kebutuhan fundamental masyarakat, seperti sembilan bahan pokok (sembako) serta bumi dan bangunan yang notabene adalah tempat tinggal, dianggap mencederai prinsip keadilan.

“Jadi, pungutan pajak terhadap sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan hakiki pajak,” tegasnya, memberi definisi ulang batasan etis pungutan negara.

Secara prinsipil, MUI juga menarik garis yang tegas terkait subjek pajak. Niam menambahkan, beban pajak seyogianya hanya dibebankan kepada warga negara yang memiliki kemampuan finansial minimal setara nishab zakat mal, yakni 85 gram emas. Sebuah batas minimal kesejahteraan yang secara tradisional menjadi tolok ukur dalam hukum Islam.

Prinsip Fatwa: Haram jika Tidak Adil dan Pengurangan Zakat

Dalam bingkai hukum yang dirumuskan, MUI memaparkan sejumlah ketentuan krusial.

Negara diizinkan memungut pajak hanya jika kekayaan negara tidak memadai untuk membiayai kebutuhan publik. Namun, izin ini terikat syarat ketat: harus menerapkan prinsip keadilan, amanah, dan transparansi.

Barang kebutuhan primer (dharuriyat), mencakup sembako dan rumah tinggal, dilarang dikenai pungutan pajak berulang (double tax). Sebuah penekanan penting untuk mencegah masyarakat jatuh dalam beban ganda.

Paling vital, MUI secara eksplisit menegaskan bahwa zakat dapat menjadi pengurang kewajiban pajak.

Puncak dari ketentuan ini adalah deklarasi: pemungutan pajak yang tidak memenuhi prinsip keadilan dinyatakan haram.

Selain urusan fiskal, Munas MUI XI juga menetapkan empat fatwa lain yang relevan dengan isu kontemporer, meliputi Kedudukan Rekening Dormant, Pedoman Pengelolaan Sampah di Sungai, Danau, dan Laut, Status Saldo Kartu Uang Elektronik yang Hilang atau Rusak, serta Kedudukan Manfaat Produk Asuransi Kematian pada Asuransi Jiwa Syariah.

Rekomendasi untuk Legislatif dan Pemerintah

Fatwa ini tidak berhenti pada ranah spiritual semata, tetapi diterjemahkan menjadi rekomendasi yang menusuk langsung ke jantung kebijakan fiskal. MUI mendesak Pemerintah, DPR, dan pemerintah daerah untuk:

Meninjau kembali beban pajak, terutama pajak progresif yang dinilai terlalu membebani dan memberatkan masyarakat.

Mengoptimalkan sumber kekayaan negara dan menindak tegas mafia pajak. Langkah ini dianggap fundamental untuk memangkas kebocoran dan meningkatkan kemakmuran rakyat, bukan semata menambah pungutan.

Mengevaluasi berbagai aturan perpajakan yang dinilai tidak adil, mencakup PBB, PPn, PPh, PKB, dan pajak waris. Peninjauan ulang ini diminta tidak hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan, tetapi mutlak mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

Pemerintah diwajibkan mengelola pajak dengan prinsip amanah dan diharapkan menjadikan fatwa MUI ini sebagai pedoman fundamental dalam perbaikan kebijakan. Di sisi lain, masyarakat diingatkan untuk tetap menjunjung tinggi dan menaati aturan pajak, selama penggunaannya ditujukan untuk kemaslahatan umum.

Bagikan