
Merah Putih: One For All seharusnya menjadi suguhan spesial jelang HUT ke-80 RI. Dengan mengusung tema kebangsaan dan persatuan, film animasi garapan Perfiki Kreasindo ini diharapkan bisa memantik rasa nasionalisme penonton. Namun sejak trailer-nya rilis, yang terjadi justru sebaliknya: badai kritik netizen, tudingan penggunaan aset tanpa izin, hingga pertanyaan besar tentang kemana perginya budget miliaran rupiah.
Proses Ngebut, Kurang dari Sebulan
Produser Toto Soegriwo mengungkap lewat Instagram bahwa biaya produksi film ini mencapai Rp6,7 miliar. Angka itu cukup fantastis untuk ukuran animasi lokal, tapi juga memantik tanda tanya, karena pengerjaannya dilakukan kurang dari satu bulan.
Bagi sebagian orang, fakta ini menunjukkan bahwa target tayang untuk momen 17 Agustus jauh lebih diutamakan ketimbang memastikan kualitas. Bahkan, sejumlah warganet menyebut proyek ini sebagai contoh “the power of kepepet” di industri film.
Aset Beli, Bukan Bikin Sendiri
Kecurigaan netizen semakin kuat setelah Yono Jambul, kreator konten YouTube, mengungkap bahwa beberapa aset visual dalam film ini dibeli dari store Daz3D.
Contohnya, untuk adegan jalanan, tim produksi menggunakan aset “Street of Mumbai”—yang jelas tidak merepresentasikan suasana Indonesia.
Tidak hanya itu, sebagian karakter disebut hanya hasil modifikasi ringan dari aset yang dibeli seharga belasan dolar. Sulit bagi penonton untuk menemukan sentuhan lokal yang khas, apalagi rasa orisinalitas.
Dugaan Pelanggaran Hak Cipta
Kritik makin panas ketika seniman 3D asal Pakistan, Junaid Miran, menuding bahwa enam karakternya digunakan tanpa izin dan tanpa pemberian kredit.
“Tidak ada siapapun dari tim produksi yang menghubungi saya atau memberikan kredit apapun,” ungkapnya.
Junaid bahkan mengunggah bukti penjualan karakternya di Reallusion Content Store seharga sekitar Rp700 ribu. Sejumlah netizen mendesaknya untuk menuntut pihak produksi, bahkan meminta bioskop membatalkan penayangan film ini.
Dibandingkan dengan Jumbo
Publik masih segar mengingat kesuksesan Jumbo karya Ryan Adriandhy yang menjadi bukti animator lokal mampu bersaing secara global. Standar kualitas sudah terpatri dan sayangnya, Merah Putih: One For All dinilai jauh di bawah itu.
Komentar-komentar pedas pun bermunculan, ada yang menyebut kualitasnya seperti “tugas proyek PPKn SMA” atau bahkan “lebih menghibur menonton kursi bioskop kosong selama dua jam”.
Respons Produser dan Sutradara
Alih-alih memberi klarifikasi teknis, produser Toto Soegriwo merespons kritik dengan nada santai namun terkesan menyindir:
“Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain. Banyak yang mengambil manfaat juga kan?”
Sutradara Endiarto membantah adanya pelanggaran hak cipta, meski mengakui adanya kemiripan aset. Menurutnya, desain visual adalah soal gaya dan interpretasi, dan penilaian akhir sebaiknya diserahkan kepada penonton.
Hanung Bramantyo: Rp7 Miliar Tidak Cukup
Sutradara Hanung Bramantyo ikut bersuara. Menurutnya, dengan anggaran Rp6-7 miliar, mustahil menghasilkan film animasi berkualitas bioskop.
Ia membeberkan standar industri minimal Rp30 miliar untuk produksi ditambah Rp10 miliar untuk promosi, dikerjakan selama lima tahun.
Hanung bahkan mengusulkan agar film ini ditunda penayangannya demi memberi waktu bagi tim kreatif memperbaiki kualitas.
“Kalau toh tidak dikorupsi, hasilnya tetap jelek!” tulisnya blak-blakan.
Premis Menarik, Eksekusi Tersandung
Secara konsep, Merah Putih: One For All punya fondasi cerita yang kuat: petualangan delapan anak dari berbagai suku di Indonesia mencari bendera pusaka yang hilang sebelum upacara 17 Agustus. Ada pesan persatuan, keberagaman, dan semangat nasionalisme.
Namun, ide mulia tanpa eksekusi matang berisiko justru mengaburkan pesan yang ingin disampaikan. Di mata publik, kualitas teknis yang lemah bisa menenggelamkan niat baik di balik sebuah karya.
Menanti Penayangan di Tengah Badai Kritik
Film ini tetap dijadwalkan tayang 14 Agustus 2025, bahkan menawarkan tiket spesial pada 17 Agustus. Namun, badai kritik yang telanjur meluas membuatnya sulit lepas dari sorotan negatif.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi industri: nasionalisme tidak boleh dijadikan tameng dari kritik. Apalagi di era keterbukaan internet, di mana publik semakin kritis, dan budget miliaran bukan jaminan kualitas tanpa perencanaan yang matang.
Foto: Dok. Istimewa