Menkeu Purbaya: Pajak Marketplace Ditunda, Tunggu Pemulihan Ekonomi Solid

Zalfa 1

BicaraPlus – Suasana sempat menegang di JCC Jakarta, Kamis (9/10) malam, ketika Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dicecar tentang kabar pengenaan pajak online yang santer terdengar. Siang hari sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Direktur Jenderal Bimo Tri Handoko telah mengindikasikan bahwa kebijakan pajak e-commerce akan mulai diberlakukan pada awal tahun depan. Namun, Purbaya dengan nada tegas langsung membantah informasi tersebut.

“Kata siapa? Kamu kata siapa?” ujar Purbaya, membalikkan pertanyaan kepada jurnalis, seolah mengingatkan siapa pemegang kendali kebijakan fiskal tertinggi.

Menkeu Purbaya menegaskan bahwa keputusan akhir mengenai penerapan pajak digital berada sepenuhnya di tangannya, bukan pada jajaran direktur jenderal di bawahnya. Penggalan kalimat “Kan saya menterinya,” yang diucapkannya dengan penuh penekanan, menjadi penanda yang jelas, wacana implementasi pajak marketplace dalam waktu dekat, termasuk kabar Februari 2026, telah dibekukan.

Pembatalan ini bukan tanpa alasan fundamental. Purbaya berpegangan teguh pada satu prinsip penting bahwa pajak digital hanya akan diterapkan jika perekonomian nasional sudah benar-benar pulih dan tumbuh secara solid.

Hal ini mencerminkan kehati-hatian pemerintah dalam mengelola momentum pemulihan ekonomi pasca krisis. Sektor e-commerce, terutama marketplace, telah menjadi tulang punggung bagi kelangsungan hidup jutaan UMKM dan pelaku usaha kecil yang beralih ke ranah digital selama beberapa tahun terakhir.

Pemerintah memahami betul bahwa langkah terburu-buru dalam memajaki sektor ini dapat menjadi beban yang mematikan, alih-alih sumber penerimaan baru. Jika pajak diberlakukan sebelum fondasi ekonomi digital tersebut benar-benar kuat, dampaknya bisa menjadi kontraproduktif, mengurangi daya saing, menekan margin keuntungan UMKM, dan pada akhirnya, menghambat laju pemulihan konsumsi nasional.

Dengan keputusan ini, Purbaya menegaskan prioritas fiskal pemerintah, pemulihan ekonomi harus didahulukan sebelum memperluas basis penerimaan pajak. Negara memilih untuk bersabar menunggu kondisi ekonomi marketplace benar-benar matang, daripada tergesa-gesa memungut hasilnya dan berisiko mematikan bibit-bibit pertumbuhan di sektor digital. Ini adalah pesan politik fiskal yang jelas, memberikan jeda panjang yang sangat dibutuhkan oleh jutaan pedagang online di Indonesia.

“Kita akan jalankan kalau ekonomi sudah recover. Mungkin kita sudah akan recover, tapi belum sepenuhnya. Let’s say ekonomi tumbuh 6 persen atau lebih, baru saya pertimbangkan,” jelas Purbaya.

Mantan Kepala LPS itu menegaskan, pemerintah tetap berhati-hati dalam menetapkan kebijakan pajak baru, terutama yang berpotensi mempengaruhi aktivitas perdagangan digital yang kini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.

Menurutnya, saat ini fokus pemerintah adalah memastikan pemulihan ekonomi berjalan konsisten sebelum menambah beban fiskal pada sektor-sektor strategis seperti UMKM dan e-commerce.

“Jadi menterinya saya,” pungkas Purbaya, menegaskan keputusan terkait pajak marketplace sepenuhnya menjadi kewenangannya.

Besaran tarif pajak pedagang online sendiri 0,5 persen dari peredaran bruto yang diterima pedagang online, di luar pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

Peredaran bruto adalah imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik.

Bagikan