Menkeu Purbaya Bicara soal Tuntutan 17+8: Itu Suara Sebagian Kecil Rakyat Kita

WhatsApp Image 2025 09 09 at 06.46.10

BicaraPlus – Baru sehari duduk di kursi panas Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa sudah bikin pernyataan yang lumayan “mengundang tepuk tangan” atau tepatnya, tepuk jidat.

Senin (8/9), di kantor Kemenkeu, Purbaya dimintai tanggapan soal tuntutan 17+8 yang ramai di jalanan dan media sosial.

“Itu kan suara sebagian kecil rakyat kita. Kenapa? Mungkin sebagian ngerasa keganggu, hidupnya masih kurang ya,” ujarnya.

Jawaban itu sederhana, tapi implikasinya dalam. Alias bisa bikin rakyat yang merasa hidupnya “kurang” jadi makin tersulut.

Sibuk Cari Kerja, Lupa Demo?

Tak berhenti di situ, Purbaya juga memaparkan resep ekonomi versi dirinya. Katanya, kalau pertumbuhan ekonomi tembus 6–7 persen, rakyat bakal sibuk cari kerja, makan enak, dan otomatis lupa demo.

One, saya ciptakan pertumbuhan ekonomi 6 persen, 7 persen, itu akan hilang dengan otomatis. Mereka akan sibuk cari kerja dan makan enak dibandingkan mendemo.”

Target 8 Persen?

Soal target pertumbuhan 8 persen, Purbaya menanggapi lebih realistis. Ia bilang tak akan menipu publik dengan janji muluk.

“Bukan bakal dikejar 8 persen. Kita akan kejar pertumbuhan seoptimal mungkin. Kalau saya bilang bisa besok 8, itu nipu. Tapi kita bergerak ke arah sana.”

Warganet Angkat Suara

Pernyataan Purbaya langsung ramai di Instagram. Beberapa komentar netizen bahkan lebih pedas dari kritik oposisi:

@idocprakoso: “Baru loh… 😂😂😂”

@maryammm0101: “Pak Prabowo sepertinya senang mengoleksi kompor berbagai tipe ya.”

@Karinarusmannn: “Kayanya gue bisa jadi menteri. Job desc-nya mancing emosi kan?”

@nastashabigail: “Baru kepilih langsung salah pilih.”

Kursi Panas, Komentar Panas

Sebagai Menkeu, Purbaya memang harus siap bukan cuma hitung angka, tapi juga hitung kata. Salah ucap sedikit bisa bikin warganet ngamuk, apalagi kalau nyangkut soal “rakyat kecil.”

Yang jelas, dari awal masa jabatannya ini, Purbaya sudah menunjukkan, kursi Menkeu itu bukan cuma soal fiskal dan APBN, tapi juga soal komunikasi. Dan kadang, komunikasi yang salah bisa lebih “mahal” daripada defisit anggaran.

Foto: Dok. Istimewa

Bagikan