
Senin siang, 11 Agustus 2025, langit Jakarta menggelayut mendung ketika Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang akrab disapa Tom, melangkah masuk ke Gedung Komisi Yudisial (KY) di kawasan Kramat, Jakarta Pusat. Wajahnya terlihat tenang, tapi tatapannya menyimpan tekad.
Ia datang bukan untuk mencari simpati publik, melainkan untuk menuntut kejelasan, ada apa di balik putusan majelis hakim yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepadanya dalam kasus dugaan korupsi impor gula?
Hari itu, KY mengumumkan pembentukan tim investigasi khusus. Tim ini diberi mandat untuk mengupas tuntas dugaan pelanggaran etik yang dilakukan tiga hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, yaitu Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika, serta dua hakim anggota Purwanto S. Abdullah dan Alfis Setyawan.
Menyelam ke Balik Putusan
Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi KY, Joko Sasmito, menyatakan tim akan bekerja mengikuti prosedur yang diatur dalam Per-KY Nomor 5 Tahun 2004.
“Pelapor akan diperiksa lebih dulu, termasuk Pak Tom. Setelah itu, kami akan minta keterangan pihak pengadilan, lalu hakim terlapor bila ditemukan indikasi pelanggaran,” jelasnya.
Langkah ini bukan sekadar rutinitas. Putusan dalam kasus Tom mencapai seribu halaman, dan meski KY tidak berwenang mengutak-atik substansi putusan, mereka akan membacanya dengan cermat, mencari tanda-tanda kejanggalan yang bisa menjadi pintu masuk pemeriksaan etik.
Ada Apa di Balik Putusan Itu?
Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, tak menutupi bahwa kasus ini mendapat prioritas. “Ini mengusik rasa keadilan banyak orang,” tegasnya.
Namun, ia mengingatkan, KY tidak berfokus pada benar-salahnya putusan, melainkan pada integritas hakim yang memutus. Jika nanti terbukti ada pelanggaran, sanksinya bisa berujung pada pemberhentian tetap.
KY punya rekam jejak tegas, beberapa hakim telah diberhentikan melalui Majelis Kehormatan Hakim (MKH) di periode ini. Pesannya jelas, tidak ada yang kebal dari pengawasan.
Tom: Bukan untuk Menjatuhkan
Dalam pernyataannya usai bertemu KY, Tom Lembong menepis anggapan bahwa laporannya bermuatan politik atau dendam pribadi.
“Tidak ada, dalam rekam jejak saya, mencoba menjatuhkan seseorang atau institusi. Ini tanggung jawab bersama untuk tidak membiarkan proses hukum menyimpang,” ujar Tom.
Baginya, langkah ini adalah bagian dari upaya memperbaiki sistem hukum agar publik tak lagi kehilangan kepercayaan.
Dari Vonis ke Abolisi
Kasus Tom bermula dari tuduhan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan. Ia dinyatakan bersalah oleh majelis hakim dan dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara serta denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan.
Namun, Presiden Prabowo Subianto kemudian memberikan abolisi, membebaskan Tom dari hukuman. Keputusan ini memicu gelombang perhatian, bahkan spekulasi, mengenai proses peradilan yang menjeratnya.
Babak Baru
Ketua KY, Amzulian Rifai, memastikan laporan Tom diproses setara dengan laporan lain. “Tidak ada pembedaan. Semua sesuai prosedur,” tegasnya.
Meski begitu, publik tahu, kasus ini bukan sekadar satu perkara. Ia adalah potret bagaimana integritas peradilan diuji di bawah sorotan terang.
Kini, semua mata tertuju pada KY dan tim investigasinya. Apakah mereka akan menemukan kejanggalan di balik vonis yang sempat menutup lembaran karier Tom Lembong? Ataukah kasus ini akan berakhir sebagai satu lagi catatan buram yang mengendap di arsip peradilan?
Satu hal yang pasti, panggung hukum Indonesia sedang menanti babak selanjutnya.





