
BicaraPlus – Suatu pagi di Jakarta, udara masih terasa pekat oleh asap sisa aktivitas malam. Fenomena ini bukan lagi rahasia, melainkan tantangan akut bagi negara yang berkomitmen pada target net zero emission 2060. Menyadari keterbatasan bahan bakar fosil dan desakan isu lingkungan, pemerintah Indonesia kini mengambil langkah maju yang signifikan: mewajibkan pencampuran etanol murni ke dalam bensin. Bukan sekadar wacana, program ini telah mendapat restu tertinggi dan siap mengubah wajah industri energi nasional.
Langkah ini diumumkan langsung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang mengungkapkan rencana implementasi wajib atau mandatori pencampuran etanol ke bensin sebesar 10% (dikenal sebagai E10).
“Ke depan kita akan dorong ada E10. Kemarin malam sudah dirapatkan dengan Pak Presiden [Prabowo Subianto], bapak Presiden setujui mandatori 10% etanol. Kita akan campur bensin kita dengan etanol,” ujar Bahlil pada acara detikSore on Location, di Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).
Program ini mengikuti jejak sukses pengembangan biosolar, di mana Indonesia telah berhasil mencapai campuran solar dengan 40% olahan kelapa sawit (B40). Untuk bensin, Bahlil menegaskan bahwa langkah ini adalah kebutuhan untuk mengejar standar global.
“Di Brasil mereka sudah gunakan mandatori campuran 27%, bagi beberapa daerah mereka ada yang 100%. Di Amerika [Serikat] 10-20%, India itu 20%. Jadi bensin ini agar kualitasnya bagus dan menurunkan emisi. Karena kita setuju net zero emission 2060,” terang Bahlil.
Inti dari kebijakan ini adalah mewujudkan kemandirian energi dan janji lingkungan. Etanol yang berasal dari bahan baku nabati seperti tebu atau singkong tidak hanya meningkatkan Angka Oktan (RON), yang memperbaiki performa mesin dan mengurangi risiko knocking, tetapi juga secara signifikan mengurangi emisi gas buang polutan dan karbon dioksida ( ).
Kalibrasi Mesin dan Polemik yang Menyesatkan
Di tengah rencana mandatori ini, sempat muncul polemik di publik terkait keamanan etanol, khususnya setelah kabar penggunaan etanol 3,5% pada BBM Pertamina. Namun, pelaku industri otomotif justru menyambut baik, bahkan menilai polemik tersebut “menyesatkan.”
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, menegaskan bahwa kandungan etanol 3,5% atau bahkan target 10% sama sekali bukan masalah bagi kendaraan modern.
“Bisa, sebenarnya kan tergantung mereknya. Kalau Toyota itu sampai 20%. Tapi mungkin merek lain itu sampai 10%,” ungkap Bob Azam di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Selasa (7/10/2025).
Menurutnya, angka 3,5% berada jauh di bawah batas toleransi mesin kendaraan modern, yang umumnya dirancang kompatibel dengan bahan bakar beretanol (seperti E5 atau E10) sesuai standar global.
“Jadi nggak ada masalah itu 3,5%. Banyak yang ngeributin, misleading (menyesatkan), menurut kita itu menyesatkan,” ucapnya.
Bob Azam melihat kebijakan penambahan etanol sebagai langkah strategis positif, tidak hanya untuk lingkungan, tetapi juga untuk ekonomi lokal. “Bahkan ke depan itu penggunaan etanol bisa menjadi trend center ke depan. Karena petaninya juga ikut sejahtera kan. Kalau sekarang kan kalau pakai bensin impor semua. Kalau pakai etanol kita bisa substitusi,” jelasnya, menyoroti potensi kesejahteraan petani lokal sebagai pemasok bahan baku.
Dengan persetujuan Presiden, program mandatori E10 kini memasuki tahap implementasi, menempatkan Indonesia selangkah lebih dekat dengan negara-negara maju dalam transisi energi, seraya memastikan performa mesin kendaraan tetap terjaga dan lingkungan kota menjadi lebih bersih.