
Bicaraplus – Perubahan teknologi yang bergerak semakin cepat dinilai menjadi tantangan besar bagi daya tahan tenaga kerja nasional. Hal tersebut disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Prof. Yassierli, Ph.D., dalam kuliah umum yang digelar pada Minggu, 14 Desember, bertepatan dengan Acara Pelantikan Dewan Pengurus Pusat (DPP) IKAPUNIJA yang di selenggarakan di Politeknik Negeri Jakarta.
Dalam paparannya, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Prof. Yassierli, Ph.D., mengungkapkan bahwa dunia kerja saat ini tengah berada dalam fase transformasi besar akibat disrupsi teknologi, kecerdasan buatan, dan perubahan struktur ekonomi global. Kondisi tersebut menuntut kesiapan sumber daya manusia yang jauh lebih adaptif dibandingkan sebelumnya.
Berdasarkan Potret Ketenagakerjaan Indonesia 2025, jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) mencapai 216,79 juta orang. Dari jumlah tersebut, 153,05 juta orang masuk dalam kategori angkatan kerja, dengan 145,77 juta orang bekerja dan 7,28 juta orang menganggur, sehingga tingkat pengangguran nasional berada di kisaran 4,76 persen. Sementara itu, penduduk bukan angkatan kerja tercatat sebanyak 63,74 juta orang, terdiri dari mereka yang masih bersekolah, mengurus rumah tangga, dan aktivitas lainnya.
Dari sisi kualitas pekerjaan, struktur ketenagakerjaan Indonesia masih didominasi sektor informal. Data menunjukkan 56,57 persen pekerja berada di sektor informal, sedangkan sektor formal baru menyerap sekitar 43,43 persen tenaga kerja. Kondisi ini menunjukkan masih tingginya kerentanan kerja serta keterbatasan perlindungan sosial bagi sebagian besar pekerja.
Tantangan lain terlihat dari latar belakang pendidikan angkatan kerja. Sekitar 52,72 persen tenaga kerja berlatar pendidikan SD hingga SMP, 34,29 persen lulusan SMA/SMK, dan hanya 12,08 persen yang memiliki pendidikan diploma dan universitas. Komposisi tersebut dinilai belum selaras dengan kebutuhan industri yang kini bergerak ke arah ekonomi digital, ekonomi kreatif, green economy, dan care economy.
Dalam kuliah umum tersebut, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, Prof. Yassierli, Ph.D., juga menyoroti tiga pendorong utama perubahan dunia kerja global, yakni disrupsi AI dan digitalisasi, transisi hijau dan keberlanjutan, serta pergeseran demografi dan care economy. Perubahan ini berdampak langsung pada empat sektor utama, yaitu ekonomi digital dan kreatif, ekonomi berbasis teknologi dan AI, green, blue, circular, dan sustainable economy, serta care dan people-centered economy.
Secara global, transformasi tersebut diproyeksikan akan menciptakan sekitar 170 juta lapangan kerja baru pada 2030. Namun, pada saat yang sama, 92 juta jenis pekerjaan diperkirakan akan hilang atau tergantikan akibat otomatisasi dan teknologi. Dengan demikian, sekitar 59 persen tenaga kerja membutuhkan reskilling dan upskilling agar tetap relevan di pasar kerja masa depan.
Dari sisi kualitas sumber daya manusia, Human Capital Index (HCI) Indonesia tercatat sebesar 0,54, masih berada di bawah rata-rata ASEAN. Sementara itu, hanya 19 persen pekerja Indonesia yang memiliki keterampilan digital tingkat menengah (intermediate), dan baru sekitar 6 persen yang memiliki keterampilan digital tingkat lanjut (advanced). Dalam World Digital Competitiveness Index, Indonesia berada di peringkat 43 dari 67 negara, serta peringkat 11 dari 14 negara di Asia.
Perubahan teknologi juga tercermin pada jenis pekerjaan yang tersedia. Data menunjukkan 80 persen pekerjaan dengan pertumbuhan tercepat di LinkedIn saat ini merupakan profesi yang belum ada 20 tahun lalu. Bahkan, 10 persen pekerja saat ini memiliki jabatan yang belum dikenal pada tahun 2000, seperti Data Analyst, Data Scientist, Full Stack Engineer, Social Media Manager, hingga Human Resources Business Partner.
Menutup kuliah umumnya, Menteri Ketenagakerjaan menegaskan bahwa tantangan ketenagakerjaan ke depan tidak dapat diselesaikan secara parsial. Diperlukan kolaborasi kolektif antara pemerintah, perguruan tinggi, industri, komunitas, dan jejaring alumni, termasuk peran strategis IKAPUNIJA, untuk mendorong pengembangan keterampilan, peningkatan produktivitas, serta penciptaan ekosistem pembelajaran berkelanjutan. Tanpa langkah cepat dan terintegrasi, tenaga kerja nasional berisiko tertinggal di tengah lompatan teknologi yang semakin cepat.





