Korupsi Kuota Haji: Dari Lobi Oknum Kemenag hingga Nama Khalid Basalamah yang Terseret

7274458 1

BicaraPlus – Di balik wajah khusyuk jemaah haji yang menunaikan rukun Islam kelima, terselip cerita pahit soal jual beli kuota. Kasus dugaan korupsi kuota haji yang kini diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka tabir praktik culas: dari ruang-ruang birokrasi Kementerian Agama (Kemenag) hingga tawar-menawar fasilitas haji yang menyentuh tokoh publik.

Nama pendakwah sekaligus pemilik biro perjalanan haji, Khalid Zeed Abdullah Basalamah, mendadak mencuat dalam pusaran perkara ini. Penyidik KPK mengungkap, seorang oknum Kemenag mengiming-iminginya untuk pindah dari program haji furoda ke haji khusus, dengan janji fasilitas lebih baik, maktab dekat Mina dan penginapan tak jauh dari lokasi jumroh. Tawaran itu datang melalui Ibnu Mas’ud, pemilik PT Muhibbah Mulia Wisata asal Pekanbaru.

“Oknum pegawai Kemenag ini meyakinkan Ustaz KB bahwa dengan haji khusus, jemaah pasti berangkat tahun ini juga,” ujar Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Kamis (18/9/2025).

Bagi Khalid, tawaran itu terasa masuk akal. Apalagi, terdapat Surat Keputusan (SK) resmi yang ditandatangani Menteri Agama periode 2020–2024, Yaqut Cholil Qoumas, yang memperkuat legalitas kuota tambahan. Bersama 122 jemaah dari biro perjalanan miliknya, Uhud Tour, Khalid akhirnya masuk ke rombongan PT Muhibbah.

Akar Masalah: Kuota Tambahan dari Riyadh

Kasus ini bermula dari pertemuan Presiden ke-7 Joko Widodo dengan Pemerintah Arab Saudi pada 2023. Dari pertemuan itu, Indonesia mendapat tambahan 20 ribu kuota haji. Aturan seharusnya jelas: 92 persen untuk haji reguler, 8 persen untuk haji khusus. Namun dalam praktiknya, pembagian justru berubah menjadi 50:50, setengah untuk reguler, setengah lagi untuk haji khusus.

Perubahan itu diteguhkan melalui SK Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024. KPK menduga, sejak SK itu keluar, ruang gelap transaksi kuota terbuka lebar. Kuota haji khusus kabarnya dijual hingga Rp300 juta per orang, sementara haji furoda bisa menembus Rp1 miliar. Uang yang diduga mengalir ke sejumlah pegawai Kemenag ini ditampung oleh pihak ketiga yang disebut sebagai “juru simpan”.

Tak heran, ketika status perkara naik ke penyidikan pada 9 Agustus 2025, KPK juga menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Perhitungan awal menyebut kerugian negara bisa mencapai Rp1 triliun lebih.

Posisi Khalid Basalamah: Korban atau Ikut Terlibat?

Khalid Basalamah sudah dua kali diperiksa sebagai saksi. Dalam keterangannya, ia menegaskan dirinya adalah korban. Ia bahkan mengaku mengembalikan sejumlah uang ke KPK, yang kemudian disita sebagai barang bukti. “Itu sebetulnya bukan suap, karena inisiatifnya dari oknum Kemenag. Lebih tepat disebut pemerasan,” ujar Asep.

Namun, di mata hukum, status “korban” tidak otomatis membebaskan dari jerat pidana. Prof. Mahfud MD, pakar hukum tata negara sekaligus mantan Menko Polhukam, mengingatkan pentingnya melihat unsur mens rea, niat jahat, dalam kasus ini.

“Saya percaya Khalid Basalamah itu korban. Tapi korban pun bisa dianggap terlibat,” ujar Mahfud dalam podcast di kanal YouTube pribadinya. Ia menyebut ada empat indikator niat jahat: kesengajaan, pengetahuan atas potensi pelanggaran, kelalaian, atau kecerobohan.

Dengan kata lain, jika Khalid dianggap tahu atau lalai, tetap ada kemungkinan jerat hukum menantinya. Masalahnya, bila logika itu dipakai, bisa ratusan biro travel ikut terseret.

Lahan Basah di Tanah Suci

KPK menelusuri lebih jauh peran biro travel haji. Dalam kasus Khalid, misalnya, 122 jemaah Uhud Tour masing-masing harus membayar 4.500 dolar AS kepada PT Muhibbah. Bahkan, 37 jemaah diminta tambahan 1.000 dolar AS agar visa bisa diproses. Uang itu sempat ditahan, lalu dikembalikan setelah ibadah haji selesai.

Kisah ini menunjukkan bahwa bisnis perjalanan haji bukan sekadar soal spiritualitas, melainkan juga lahan ekonomi besar. Kuota menjadi komoditas, fasilitas jadi alat tawar, dan jamaah sering kali menjadi pihak paling rentan.

Politik, Hukum, dan Tanggung Jawab

Kasus ini tak hanya ditangani KPK. Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya juga menemukan kejanggalan pada penyelenggaraan haji 2024, khususnya soal pembagian kuota tambahan. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, kuota haji khusus semestinya hanya 8 persen, tetapi faktanya melonjak hingga 50 persen.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: bagaimana regulasi bisa diubah begitu drastis? Siapa saja yang diuntungkan? Dan berapa banyak jemaah yang harus membayar lebih mahal demi janji fasilitas di Tanah Suci?

KPK kini menahan napas publik dengan penyelidikan yang terus berlanjut. Mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, sejumlah pejabat Kemenag, pengusaha travel, hingga asosiasi penyelenggara haji sudah diperiksa. Tapi jalan menuju kebenaran masih panjang.

Bagi jamaah, haji adalah ibadah yang ditunggu seumur hidup. Bagi sebagian birokrat dan pelaku usaha, ia berubah menjadi komoditas menggiurkan. Dan di persimpangan itu, kita diingatkan lagi bahwa korupsi bisa merasuk bahkan ke ruang yang paling sakral.

Foto: Freepik

Bagikan