Kontroversi Makan Bergizi Gratis di SDIT Al Izzah, Ketika Bantuan Sosial Bertemu Kelas Sosial

01JTNF4C8ZQAS9TYQE5G3KD2H2

BicaraPlus – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dirancang pemerintah sebagai upaya menjawab persoalan klasik gizi anak sekolah di Indonesia. Namun, ketika diterapkan di Kota Serang, ia justru memunculkan penolakan. Wali murid Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Al Izzah menegaskan tak ingin anak-anak mereka menerima MBG, bahkan menolak dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) beroperasi di dalam lingkungan sekolah.

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, memilih menghormati keputusan itu. “Jika yang berhak tidak ingin, kita hormati,” ujarnya, Rabu (1/10/2025). Menurut Dadan, pemerintah tetap berkomitmen menjamin hak seluruh penerima manfaat, sembari berharap program ini benar-benar bisa meningkatkan kualitas gizi anak-anak dan kelompok rentan.

Penolakan dari Wali Murid
Perwakilan orang tua murid, Baim Aji, menyebut penolakan mereka berangkat dari kesadaran kelas. Menurutnya, mayoritas wali murid di SDIT Al Izzah sudah mampu membiayai kebutuhan anak mereka, termasuk urusan makan. “Kami sudah membayar SPP dan biaya masuk yang cukup besar, sampai belasan juta. Kalau sudah mampu membiayai itu, kenapa harus ada MBG masuk ke sekolah,” ujarnya usai audiensi dengan Pemerintah Kota Serang.

Selain alasan status ekonomi, faktor keamanan juga jadi pertimbangan. Orang tua khawatir aktivitas keluar-masuk kendaraan pengangkut logistik dapur MBG justru meningkatkan risiko kecelakaan di sekitar sekolah. Ada pula kekhawatiran soal penumpukan sampah dan berkurangnya ruang aman bagi anak.

Sikap Pemkot Serang
Wali Kota Serang, Budi Rustandi, mengatakan pihaknya sudah memfasilitasi audiensi yang dihadiri Kapolres, Dandim, dan perwakilan BGN. Ia menegaskan mendukung program MBG, tapi juga memahami konteks SDIT Al Izzah sebagai sekolah swasta yang mayoritas siswanya berasal dari keluarga mampu. “Mereka ingin anak-anak tetap makan sesuai katering yang sudah ada sejak awal, jauh sebelum ada MBG,” kata Budi.

Politik Bantuan dan Kelas Sosial
Kasus ini membuka perdebatan lebih luas: siapa sebenarnya yang berhak menerima program MBG, dan bagaimana kebijakan publik semestinya disesuaikan dengan keragaman kondisi sosial ekonomi? Di satu sisi, program ini bertujuan pemerataan agar anak-anak dari keluarga rentan mendapat akses gizi lebih baik. Namun, ketika menyasar sekolah dengan mayoritas keluarga mampu, muncul resistensi.

Penolakan SDIT Al Izzah dapat dibaca sebagai refleksi dinamika kelas dalam kebijakan sosial. Bagi sebagian orang tua, bantuan negara dipandang tidak relevan bahkan mengganggu karena mereka sudah membayar fasilitas pendidikan dan katering sendiri. Di sisi lain, ada pertanyaan apakah penolakan seperti ini justru bisa membuka ruang distribusi yang lebih tepat sasaran untuk sekolah dan keluarga yang memang membutuhkan.

Lebih dari Sekadar Makan Gratis
Program MBG sejatinya bukan sekadar soal makanan di piring anak sekolah. Ia adalah kebijakan dengan dimensi politik, ekonomi, hingga identitas kelas. Penolakan di SDIT Al Izzah memperlihatkan bagaimana satu program nasional bisa diterima berbeda tergantung siapa penerimanya, dan bagaimana keluarga melihat relasi mereka dengan negara.

Pada akhirnya, pertanyaan pentingnya bukan hanya “siapa yang mau” dan “siapa yang menolak,” melainkan bagaimana memastikan bahwa MBG benar-benar menyentuh kelompok yang rentan dan tak tertinggal di ruang-ruang kelas lain, di sekolah-sekolah yang tak punya privilese katering sendiri.

Foto: BGN

Bagikan