
Malam itu, 12 Agustus 2025, udara Kabupatan Pati, Jawa Tengah terasa berbeda. Ratusan warga duduk melingkar, lantunan selawat burdah dan doa bersama menggema hikmat di depan Kantor Bupati. Mereka bukan sekadar berkumpul untuk sebuah acara ritual, ini adalah pemanasan batin jelang aksi yang diyakini terbesar dalam sejarah Kabupaten Pati.
Mereka berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari petani, pedagang, hingga 220 mantan pegawai honorer RSUD RAA Soewondo yang di-PHK setelah puluhan tahun mengabdi. Semua bersatu dalam satu tuntutan: Bupati Pati Sudewo harus turun.
Api yang Menyala dari Kenaikan PBB
Sumber bara ini dimulai dari satu kebijakan, yakni kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen. Meski tidak berlaku untuk semua objek pajak, kebijakan itu tetap memukul keras banyak warga.
Protes mulai bermunculan, tapi respon Bupati justru memicu kemarahan. Sudewo, yang baru beberapa bulan menjabat, menyatakan meski didemo 50 ribu orang, ia tidak akan mengubah keputusannya. Ucapan itu, yang dianggap arogan oleh warga, menjadi bensin yang menyiram api.
Gelombang penolakan semakin membesar. Warga menggelar aksi donasi, bukan uang, tapi ribuan kardus air mineral yang ditumpuk di depan Pendopo Kabupaten, menutupi hampir seluruh pandangan ke kantor Bupati. Momen itu viral, hingga menarik perhatian Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Arahan pun turun, kenaikan PBB dibatalkan pada 7 Agustus 2025.
Namun, seperti api yang sudah terlanjur membakar hutan, pembatalan itu tidak memadamkan kemarahan. Tuntutan bergeser: pemakzulan.
Malam Sebelum Ledakan
Di malam jelang demo besar 13 Agustus, posko donasi di depan Kantor Bupati ramai. Selain logistik berupa pisang, minuman kemasan, dan makanan ringan, warga juga mengirimkan semangat.
Eko Supriyanto, eks honorer RSUD Pati yang 20 tahun mengabdi sebelum di-PHK, memimpin doa bersama. “Kami akan sampaikan, kembalikan kami bekerja, atau Bupati yang turun,” ucapnya. Doa malam itu penuh harapan agar aksi dapat berjalan damai.
Pati Berguncang
Rabu pagi, 13 Agustus 2025, sekitar seratus ribu warga memenuhi kawasan Alun-alun Pati. Orator Syaiful Ayubi mengingatkan agar massa tetap santun, “Warga Pati itu cinta damai, tidak arogan.”
Namun, menjelang siang, tensi memuncak. Peperangan air mineral meluncur ke arah petugas. Lemparan berganti batu. Pagar kantor Bupati roboh, kaca pecah, dan sebuah mobil diduga milik aparat terbalik lalu terbakar di Jalan Dokter Wahidin. Gas air mata dilepaskan. Kepulan putih menyebar, memaksa massa berhamburan. Pati resmi masuk babak baru: krisis politik.
Respons Bupati Sudewo
Di tengah badai, Sudewo tetap bertahan. “Saya dipilih secara konstitusional, secara demokratis, jadi tidak bisa saya harus berhenti dengan tuntutan itu. Semua ada mekanisme,” tegasnya.
Ia mengaku akan memperbaiki langkahnya ke depan, mengajak warga menjaga kondusivitas, dan menyebut semua ini bagian dari proses pembelajaran. Namun bagi sebagian besar warga, kata-kata itu terlambat.
Panggung Politik Bergeser ke DPRD
Puncak tekanan kini pindah ke gedung DPRD Pati. Lembaga legislatif itu sepakat membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket untuk memakzulkan Bupati Sudewo.
Rapat Pansus hari ini akan membahas salah satu isu paling krusial, yakni dugaan pengisian jabatan Direktur RSUD RAA Soewondo yang tidak sah.
“Besok (14/8) akan rapat paripurna pansus lagi. Kami akan fokus pertama terkait dengan Direktur Soewondo karena menurut BKN sudah bersurat tiga kali dan ditembusi DPRD, pengisian jabatan Direktur RAA Soewondo Pati itu tidak sah,” kata Ketua Pansus Pemakzulan Bupati Pati, Teguh Bandang Waluyo, kemarin dilansir dari TVRINews.
Dari langkah ini, aroma pemakzulan semakin pekat. Bukan hanya soal PBB, tapi juga soal dugaan pelanggaran prosedural dan akumulasi ketidakpuasan.
Suara dari Luar Pati
Aksi Pati tak hanya bergema di jalanan, tapi juga di dunia maya. Salah satunya dari Influencer, Ferry Irwandi. Pria berkacamata yang dikenal kritis tersebut mengingatkan, “Rakyat tidak harus takut pada pejabat, tapi pejabat yang harus takut pada rakyat.”
Bagi Ferry, inti masalahnya bukan pajak, tapi arogansi kekuasaan. “Masyarakat sekarang udah pinter, udah tahu posisinya, udah gak bisa lagi pakai cara feodal,” tegasnya.
Lebih dari Sekadar Demo
Kisah Pati ini memberi pelajaran pahit, yaitu dalam demokrasi, legitimasi bukan sekadar hasil pemilu, tapi juga soal kepercayaan yang dipelihara setiap hari. Kebijakan yang terburu-buru, dikombinasikan dengan komunikasi yang kaku, bisa mengubah rakyat pendukung menjadi oposisi jalanan.
Hari ini, Pati bukan hanya menghadapi ujian politik, tapi juga ujian sosial: bisakah luka ini disembuhkan atau akan menjadi noda yang membekas dalam sejarahnya?
Satu hal pasti, suara rakyat di Pati telah menembus tembok pendopo dan bergema ke seluruh negeri, mengingatkan bahwa dalam demokrasi, kekuasaan hanyalah titipan, dan titipan itu bisa diambil kapan saja.