Kisah Tiga Istri Pejabat yang Hidup Sederhana dan Setia

Di panggung sejarah, nama-nama besar kerap berdiri tegak, diterangi sorotan lampu dan gelar kebesaran. Tapi di balik mereka, ada cahaya lain yang tak kalah kuat, cahaya yang tak mencari sorotan, tapi justru menjadi penopang ketika semua hal tampak gelap. Mereka adalah para istri: bukan sekadar pendamping, tapi penjaga nilai, penguat jiwa, dan dalam banyak hal, penjaga Republik dalam bentuk paling sunyi.

Di masa ketika pejabat dan keluarganya berlomba menampilkan citra glamor, kisah-kisah lama ini mengingatkan kita pada jenis keteladanan yang berbeda. Tentang kesetiaan tanpa pamrih. Tentang hidup apa adanya, bahkan saat berada di lingkar kekuasaan. Tentang cinta yang tidak berbunyi nyaring, tapi membumi dan mendalam.

Tiga nama, tiga kisah, satu benang merah: Zainatun Nahar (Maatje), istri Haji Agus Salim; Merry Roeslani, istri Jenderal Hoegeng; dan Tengku Halimah (Lily), istri Syafruddin Prawiranegara. Tiga perempuan yang tak hanya mendampingi dalam suka, tapi juga setia dalam duka yang panjang.

Untitled design 18

Zainatun Nahar, Perempuan Jawa dalam Diplomasi Sunyi

Mereka menjulukinya Maatje, sapaan akrab dari Belanda yang melekat pada perempuan Jawa tulus bernama Zainatun Nahar. Ia adalah istri dari Haji Agus Salim, diplomat ulung, orator cerdas, dan tokoh penting dalam sejarah diplomasi Indonesia.

Menjadi istri seorang diplomat seharusnya berarti hidup nyaman, berpindah-pindah negara, pesta resepsi, dan pakaian gemerlap. Tapi tidak untuk Maatje. Perjalanan hidupnya justru berbanding terbalik dengan kemewahan. Bersama Agus Salim, ia membesarkan sepuluh anak dalam kondisi serba terbatas. Gaji suaminya seringkali hanya cukup untuk bertahan hidup. Mereka pernah tinggal di rumah kontrakan sederhana yang penuh anak-anak dan buku, tapi nyaris tak memiliki perabotan.

Namun Maatje tidak pernah mengeluh. Ia mendampingi sang suami dengan ketenangan yang tidak dramatis. Di tengah keterbatasan, ia tetap memastikan anak-anak belajar, makan seadanya, dan menyerap nilai-nilai kejujuran serta keberanian.

Saat Agus Salim mendapat tugas diplomatik di luar negeri, Maatje terkadang ikut, terkadang tidak. Saat ikut pun, ia tidak tampil sebagai “ibu duta besar”, tapi tetap seorang ibu rumah tangga yang merawat anak-anaknya dengan tangan sendiri.

Kisah paling menyentuh adalah saat keluarga mereka berada di Jepang. Di tengah tugas diplomasi, Agus Salim menyempatkan diri mencari tahu harga sepatu anak-anak di toko. Ia tertegun melihat betapa mahalnya sepatu itu, dan pulang dengan mata berkaca-kaca. Maatje menyambutnya, tidak dengan keluhan, tapi dengan senyum tipis. Ia tahu, hidup bukan tentang memiliki segalanya, tapi bagaimana tetap utuh dalam keterbatasan.

Bagi Agus Salim, Maatje bukan hanya istri, tapi rumah tempat ia kembali. Bagi anak-anak mereka, Maatje adalah jangkar yang membuat mereka tetap waras di tengah kehidupan yang nyaris tanpa kemapanan. Seorang anak mereka, Agus Anwar, pernah berkata: “Ibu kami adalah perempuan paling sabar yang pernah kami kenal.”

Untitled design 20

Merry Roeslani: Diam yang Menguatkan, Tulus yang Menjaga

Jenderal Hoegeng sering disebut sebagai polisi paling jujur yang pernah dimiliki negeri ini. Tapi siapa yang menjaga integritas itu tetap hidup di rumah? Siapa yang menyokong tegaknya prinsip di saat dunia menertawakan kejujuran?

Dialah Merry Roeslani, istri sang jenderal.

Merry tidak besar di panggung publik. Ia jarang muncul dalam berita, tidak sibuk dalam organisasi istri pejabat, dan nyaris tidak memiliki jejak di sosialita. Tapi pengaruhnya sangat nyata di dalam keluarga, dan dalam sikap sang suami.

Ketika Hoegeng memutuskan menolak suap besar-besaran saat menjabat, Merry tidak keberatan. Ia tahu keputusan itu akan membuat mereka harus berhemat, harus menolak godaan, bahkan kadang harus meminjam. Tapi ia berdiri di sisi suaminya tanpa syarat. Ia tidak mengeluh ketika anak-anak mereka tidak memiliki sepatu mahal, tidak sekolah di luar negeri, atau tidak naik mobil mewah seperti anak-anak pejabat lainnya.

Merry menjaga rumah seperti benteng kecil integritas. Ia mendidik anak-anak dalam semangat kesederhanaan dan kejujuran. Ia menerima tamu dengan tangan sendiri, menyuguhkan teh tanpa pembantu, dan menjadikan rumah sebagai tempat yang nyaman bagi siapa pun yang datang.

Saat Hoegeng mengundurkan diri lebih awal karena kecewa dengan sistem yang tak bisa ia ubah, Merry tidak protes. Ia justru menjadi tempat bagi Hoegeng menumpahkan kekecewaan dan merawatnya dalam diam.

Dalam banyak wawancara, Hoegeng kerap menyebut Merry sebagai kekuatan dalam hidupnya. “Tanpa istri saya, saya tidak yakin bisa berjalan sejauh ini,” katanya.

Merry adalah perempuan yang tenang. Tapi dalam ketenangannya, ada keberanian luar biasa: keberanian untuk hidup jujur, meski artinya jauh dari kemewahan yang seharusnya bisa mereka raih.

Untitled design 19

Tengku Halimah, Darah Biru yang Tetap Membumi

Tengku Halimah, atau Lily, adalah istri dari Syafruddin Prawiranegara, tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang pernah memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) saat Soekarno dan Hatta ditawan Belanda.

Lily berasal dari keluarga bangsawan. Ia dibesarkan dalam tradisi Melayu yang halus, penuh sopan santun, dan terhormat. Tapi pernikahannya dengan Syafruddin membawanya pada jalan hidup yang tidak selalu nyaman. Sebagai istri Menteri Keuangan, kemudian pemimpin PDRI, dan akhirnya tokoh politik yang lebih banyak berada dalam bayang-bayang kekuasaan, Lily tetap menjaga sikap sederhana dan tenang.

Saat Syafruddin memilih jalan sulit demi republik, meninggalkan keluarga untuk bertugas di pedalaman Sumatera, memimpin pemerintahan darurat tanpa fasilitas, Lily tidak ikut. Ia tetap di rumah, merawat anak-anak, menahan rindu, dan menghadapi ketidakpastian yang menyakitkan.

Tapi ia tidak mengeluh. Ia memahami jalan yang dipilih suaminya. Bahkan ketika Syafruddin dikucilkan dari panggung politik karena sikap politiknya yang berbeda, Lily tetap setia di sisinya. Ia tidak mencari simpati, tidak pula menyalahkan keadaan. Ia tetap seorang istri, seorang ibu, dan perempuan yang teguh dalam diam.

Anak-anak mereka tumbuh dalam keteladanan yang hening. Dalam rumah yang tidak pernah mewah, tapi selalu hangat. Dalam ruang yang tidak penuh harta, tapi dipenuhi cerita tentang prinsip dan pengorbanan.

Seorang kerabat pernah berkata, “Bu Lily itu aristokrat sejati. Tapi bukan yang tinggi hati, melainkan yang tahu bahwa kemuliaan itu bukan dari gelar, tapi dari laku.”

Teladan yang Tak Usang Dimakan Zaman

Zainatun Nahar, Merry Roeslani, dan Tengku Halimah tidak memimpin negara. Mereka tidak berpidato di forum dunia, tidak menulis buku, tidak tampil di layar kaca. Tapi dari dapur, dari ruang keluarga, dari perjalanan sunyi sebagai istri dan ibu, mereka turut menjaga Republik.

Mereka membuktikan bahwa kekuatan perempuan tidak selalu berbentuk gebrakan besar. Kadang, kekuatan itu justru hadir dalam kesetiaan diam. Dalam keteguhan memilih jalan lurus saat jalan pintas terbuka lebar. Dalam cinta yang tidak minta disorot, tapi tetap menyala, bahkan di kegelapan.

Di masa ketika banyak istri pejabat tampil dengan tas mahal, pesta glamor, dan gaya hidup jauh dari rakyat, kisah mereka terasa seperti nyala lilin yang lembut, tapi hangat. Sebuah pengingat, bahwa keteladanan tidak pernah ketinggalan zaman—hanya saja sering terlupakan.

Dan semoga, lewat kisah ini, kita belajar untuk kembali mengingat.

Foto: Dok. Istimewa

Bagikan