
BicaraPlus — Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi mengukuhkan kepemimpinan barunya. Dalam Sidang Pleno ke-12 Musyawarah Nasional (Munas) XI MUI di Hotel Mercure Ancol, KH Anwar Iskandar ditetapkan kembali sebagai Ketua Umum MUI untuk periode 2025–2030. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Kediri ini terpilih melalui sistem musyawarah mufakat Ahlul Halli wal Aqdi yang melibatkan 19 formatur.
Dalam pidato perdananya usai Munas, Kiai Anwar langsung menyuarakan kesadaran mendalam tentang beratnya tanggung jawab yang diemban. Pidato yang seyogianya bernada syukur atas jabatan, justru ia awali dengan lafal yang merujuk pada musibah dan pertanggungjawaban.
“Perkenankan pertama-tama, saya mengucapkan Innalillahi wa inna ilayhi raji‘un, bahwa hari ini saya mendapat amanah dari Munas ini untuk memimpin kepengurusan Majelis Ulama Indonesia. Ini musibah bagi saya, karena bagaimanapun juga akan menambah tanggung jawab yang pada akhirnya pasti akan dipertanyakan di hadapan Allah SWT,” ujarnya.
Pernyataan ini bukan hanya retorika, melainkan penegasan filosofis bahwa posisi tertinggi dalam keulamaan adalah beban tanggung jawab, bukan privilege kekuasaan.
MUI: Tenda Besar Umat dan Penyelamat dari Tiga Kemungkaran
Kiai Anwar Iskandar mendefinisikan MUI sebagai “tenda besar umat Islam Indonesia”, sebuah ruang esensial bagi umat untuk berkumpul, berdiskusi, dan merumuskan maslahat. Visi kepemimpinannya ditegaskan pada tiga fokus utama:
Menyelamatkan Umat dari Paham Menyimpang: Menegakkan kewajiban ulama dalam membimbing akidah umat.
Mengentaskan Kebodohan dan Kemiskinan: Peran ulama harus meluas dari aspek spiritual hingga ke ranah sosial dan ekonomi.
Memperkuat Daya Saing: Tanggung jawab untuk memastikan umat tidak terbelakang dan mampu bersaing.
Sinergi Nahi Munkar: Ulama dan Pemerintah
Salah satu poin paling lugas yang disampaikan Kiai Anwar adalah pentingnya sinergi antara ulama dan pemerintah dalam menghadapi kemungkaran modern yang bersifat struktural. Ia membagi peran nahi munkar (pencegahan keburukan) berdasarkan kapasitas masing-masing pihak, merujuk pada hadis Nabi Muhammad, صلى الله عليه وسلم dalam Al-Arba’in An-Nawawiyah 34.
“Ada sesuatu yang bisa dilakukan oleh ulama tapi tidak bisa dilakukan oleh pemerintah, ada yang bisa dilakukan oleh pemerintah tapi tidak bisa dilakukan oleh ulama. Oleh karena itu, sinergitas menjadi kewajiban kita semua,” tegasnya.
Kiai Anwar menyebutkan beberapa ancaman struktural yang memerlukan peran penuh pemerintah, yakni pemberantasan korupsi, pemberantasan judi online, serta pemberantasan narkotika dan psikotropika.
Ia menegaskan, tugas ini hanya mampu dilakukan oleh pemerintah karena memiliki alat, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.
MUI, di bawah kepemimpinannya, akan berdiri bersama pemerintah selama kebijakan yang dijalankan menyentuh kemaslahatan rakyat dan pemberantasan kemungkaran struktural. “Program menyejahterakan rakyat itu islami. Program memberantas korupsi itu juga islami. Kalau sudah begitu, kita tidak ragu untuk bersama pemerintah,” katanya.
Namun, Kiai Anwar juga mengingatkan bahaya nahi munkar yang dilakukan secara serampangan. Fungsi nasihat harus dijalankan dengan santun. “Kalau kita melakukan nahi munkar dengan cara yang tidak baik, itu membuat munkar baru,” pungkasnya.
Menutup Munas XI, Kiai Anwar menegaskan pentingnya persatuan dan kerendahan hati, sembari mengutip Surah Al-Hasyr (59):18, وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ (Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok/akhirat), sebagai pengingat akan tanggung jawab akhir.





