
BicaraPlus – Kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR RI di tengah penderitaan rakyat adalah ironi besar. Publik menilai kebijakan itu hanya memperlebar jurang antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Tak heran bila demonstrasi bermunculan di berbagai daerah, sebagai ekspresi kekecewaan atas DPR yang lebih sibuk mengurus fasilitas pribadi ketimbang memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Padahal, sejarah bangsa ini pernah mencatat sosok Ketua DPR yang dikenal termiskin, K.H. Idham Chalid (1971–1977). Sebuah kontras yang begitu mencolok dengan wajah DPR hari ini.
Ketua DPR yang Menolak Hidup Mewah
Meski menduduki jabatan prestisius, Idham Chalid menolak fasilitas berlebihan. Ia dan keluarganya hidup sederhana. Anak-anaknya pernah berjualan nasi dan air, tak hanya itu, untuk mobilitas sehari-hari, ia berserta keluarga tetap naik transportasi umum, bukan naik mobil mewah apalagi diiringi patwal. Ia kerap berpesan, “Kita hanya boleh makan dari gaji, agar terjaga dari uang haram.”
Kesederhanaan itu bukan simbol pencitraan, melainkan sikap hidup yang konsisten. Baginya, jabatan adalah amanah, bukan ladang memperkaya diri.
Jejak Panjang Seorang Negarawan
K.H. Idham Chalid bukan sekadar Ketua DPR. Ia adalah ulama, negarawan, sekaligus organisatoris ulung. Ia pernah menjabat Wakil Perdana Menteri, Menteri Sosial, Menteri Agama, Ketua DPR/MPR, hingga memimpin Nahdlatul Ulama (NU) selama hampir tiga dekade (1956–1984).
Namun, di balik berbagai jabatan penting itu, ia tidak pernah menggunakan kekuasaan untuk menumpuk kekayaan. Setelah pensiun, Idham Chalid kembali mengajar agama, memimpin pesantren di Cipete Selatan, serta mengurus rumah yatim di Cisarua. Ia wafat pada 11 Juli 2010 pada usia 88 tahun, dikenang dengan gelar Pahlawan Nasional. Wajahnya kini abadi di uang Rp5.000, bukan karena kekayaan, melainkan karena ketulusan dan integritasnya.
Cermin untuk Wakil Rakyat Hari Ini
Lebih dari setengah abad lalu, Indonesia memiliki Ketua DPR yang hidup sederhana tanpa merasa kekurangan. Sementara hari ini, banyak pejabat justru berlomba memperbesar tunjangan dan fasilitas. Bukankah seharusnya jabatan publik adalah jalan pengabdian, bukan jalan pintas menuju kekayaan?
Idham Chalid telah membuktikan bahwa kemuliaan seorang pemimpin tidak diukur dari seberapa banyak fasilitas yang ia nikmati, tetapi dari seberapa besar ia mengabdi pada rakyat dan bangsanya.
Kini, ketika publik semakin sinis terhadap politik akibat korupsi dan gaya hidup hedon pejabat, kisah Idham Chalid adalah pengingat keras bahwa jabatan adalah amanah, bukan kesempatan memperkaya diri.
Naskah: Berbagai Sumber | Foto: Dok. Istimewa