
Indonesia mencetak keberhasilan penting dalam arena perdagangan internasional setelah resmi menyepakati penurunan tarif impor atas produk ekspor nasional ke Amerika Serikat dari 32% menjadi 19%. Kesepakatan ini diumumkan pada 18 Juli 2025, setelah proses negosiasi intensif yang dimulai sejak April 2025, dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan difinalisasi melalui komunikasi langsung antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump. Indonesia menjadi negara pertama di Asia yang berhasil mencapai kesepakatan tersebut pasca pernyataan resmi Presiden Trump pada 7 Juli 2025.
Penurunan tarif ini menjadikan Indonesia lebih unggul secara kompetitif dibandingkan negara tetangga: Thailand dikenakan tarif 36%, Bangladesh 35%, Sri Lanka 30%, Malaysia dan Brunei masing-masing 25%, Vietnam dan Filipina 20%. Artinya, dengan tarif 19%, Indonesia kini menjadi negara dengan tarif ekspor paling rendah ke AS di kawasan Asia.

Industri padat karya menjadi pihak paling diuntungkan dari kebijakan ini. Sektor seperti garmen dan alas kaki selama ini berkontribusi besar terhadap ekspor nonmigas dan menyerap jutaan tenaga kerja langsung, terutama di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sebagian Sumatera. Penurunan tarif ini membuka peluang peningkatan permintaan dari buyer AS dan menciptakan potensi pertumbuhan ekspor sebesar 10–15% dalam 12 bulan ke depan.
Secara nilai, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat mencapai USD 24,8 miliar pada 2024, menjadikan AS pasar ekspor terbesar kedua setelah China. Dari jumlah tersebut, sekitar 30–35% berasal dari sektor padat karya, menjadikan tarif yang lebih rendah sebagai katalis penting bagi kelangsungan industri tersebut, sekaligus pencegah gelombang PHK massal yang sempat membayangi akibat perlambatan global.
Namun, tarif rendah bukan jaminan peningkatan ekspor otomatis. Dunia industri kini menghadapi ekspektasi baru: harus mampu meningkatkan kapasitas produksi, menjaga kualitas tinggi, memenuhi standar keberlanjutan (sustainability), dan memastikan efisiensi logistik. Di saat yang sama, persaingan harga tetap ketat dan tren konsumen AS makin bergeser pada aspek etika produksi dan transparansi rantai pasok.
Peluang untuk relokasi industri global dari negara pesaing ke Indonesia juga terbuka. Investor akan melihat tarif ekspor rendah sebagai insentif struktural. Namun, faktor pendukung seperti infrastruktur industri, efisiensi birokrasi, dan kesiapan tenaga kerja terampil menjadi penentu apakah Indonesia mampu menjadi basis manufaktur regional baru.
Presiden Prabowo menyebut dalam keterangan pers bahwa “kita harus lindungi pekerja-pekerja kita.” Artinya, negosiasi ini tidak hanya soal angka, tetapi tentang bagaimana melindungi dan memberdayakan rakyat melalui kebijakan ekonomi yang konkret. Komitmen ini akan diuji dalam waktu dekat saat sektor industri ditantang untuk merealisasikan peningkatan ekspor secara nyata.
Pemerintah diharapkan segera meluncurkan kebijakan lanjutan seperti insentif investasi, pelatihan tenaga kerja berbasis industri 4.0, integrasi logistik ekspor, serta penguatan sistem pembiayaan ekspor untuk UMKM. Di sisi lain, pelaku industri harus lebih agresif dalam memperkuat daya saing, melakukan otomasi, dan membangun hubungan langsung dengan buyer di AS.
Tarif rendah ini adalah kemenangan diplomatik, tetapi ujian sesungguhnya ada pada kesiapan industri nasional untuk memenuhi lonjakan permintaan, menjaga kepercayaan pasar global, dan menciptakan efek ganda bagi ekonomi nasional. Indonesia tidak hanya harus hadir di pasar global, tetapi juga harus kompeten, tangguh, dan unggul di dalamnya.