
BicaraPlus – Di tengah gelombang akselerasi digital Asia Tenggara, Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) tak lagi sekadar fitur pembayaran domestik. Inovasi yang diusung Bank Indonesia ini kini telah menjadi pemain kunci dalam lanskap transaksi regional, bahkan disebut-sebut membuat sistem pembayaran di sejumlah negara tetangga mengalami “panas dingin”.
Fenomena ini merujuk pada cakupan dan kecepatan adopsi QRIS yang masif. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memaparkan bahwa penggunaan QRIS telah merangkul 57 juta konsumen, didukung oleh 39 juta merchant di dalam negeri. Angka yang fantastis ini menjadi modal dasar bagi ekspansi lintas batas.
“Ini sudah digunakan oleh 57 juta konsumer Indonesia. Dan ini sudah menunjukkan bahwa penggunaan QRIS ini bisa membuat payment system negara lain panas-dingin,” ujar Airlangga, sebagaimana dikutip oleh Detik.com pada Senin (24/11).
Kini, interoperability QRIS telah menjangkau belasan negara, meliputi Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, Laos, Brunei, bahkan meluas ke Jepang dan Korea. Transaksi pembayaran lintas negara (cross-border payment) yang dipermudah QRIS ini adalah salah satu instrumen penting yang mendukung Digital Economic Framework Agreement (DEFA) ASEAN.
Ambisi Ekonomi Digital dan Tantangan Startup
Keberhasilan di sektor pembayaran ini menjadi booster bagi ambisi Indonesia dalam ekonomi digital. Berdasarkan DEFA, nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan melonjak dari US$90 miliar menjadi US$360 miliar. Airlangga bahkan meyakini angka tersebut masih bisa ditingkatkan lebih jauh.
“Oportunitasnya bukan hanya US$360 miliar, tetapi bisa meningkat menjadi US$600 miliar,” tambahnya, menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap potensi pasar domestik.
Sistem pembayaran yang efisien, seperti QRIS, memegang peranan langsung sebagai tulang punggung (backbone) transaksi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), sekaligus menjadi fondasi pengembangan digitalisasi masa depan. Pemerintah kini berupaya keras mendorong sektor digitalisasi agar mampu menopang pengembangan teknologi tingkat lanjut, termasuk Kecerdasan Artifisial (AI), semikonduktor, hingga genome sequencing di bidang kesehatan.
Namun, di balik ambisi tersebut, Airlangga menyoroti adanya jurang yang harus segera dijembatani. Indonesia saat ini baru memiliki sekitar 45 startup yang menjadi lokomotif inovasi teknologi. Jumlah ini jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga.
“Ini masih jauh lebih rendah dibandingkan beberapa negara lain seperti Malaysia sudah 60 lebih startup dan juga kita lihat di Singapura sudah sepuluh kali lebih tinggi, yaitu 495 startup,” kritiknya.
Pemerintah menyadari bahwa akselerasi ekonomi tidak hanya didorong oleh regulasi, tetapi juga oleh ekosistem inovasi. Oleh karena itu, penumbuhan dan pengembangan startup menjadi bagian fundamental dari kebijakan pemerintah untuk mengakselerasi perekonomian nasional di panggung digital global.





