Kepala BRIN Baru Dihadapkan pada Dilema Homebase dan Kekurangan Periset

IMG 7766 1

BicaraPlus — Tongkat kepemimpinan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) resmi beralih kepada Arif Satria. Pria yang pernah Rektor IPB University ini kini mengemban misi berat untuk mengorkestrasi ekosistem riset nasional, namun langsung dihadapkan pada dua isu krusial, yakni polemik kebijakan homebase (unit kerja) dan defisit jumlah periset Indonesia.

Dalam sambutannya setelah serah terima jabatan menggantikan Laksana Tri Handoko (yang kini kembali menjadi peneliti di Pusat Riset Fisika Kuantum BRIN) di Auditorium BRIN, kemarin, Arif menegaskan komitmennya untuk segera membenahi persoalan internal yang menjadi keluhan banyak periset.

Sejak awal tahun, kebijakan homebase unit kerja menjadi momok yang disuarakan oleh para peneliti di berbagai daerah. Kebijakan ini mengharuskan seluruh periset yang tersebar di pelbagai kawasan untuk berpindah ke unit penelitian masing-masing, sesuai penempatan dan kepakarannya, yang mayoritas tersentralisasi di Jawa.

Arif berjanji akan mempelajari dan mencari jalan keluar atas keluhan tersebut. “Saya akan mengumpulkan para Eselon I untuk mendengarkan updating terhadap achievement yang sudah dicapai, kendala tantangannya seperti apa,” ujar Arif.

Kebijakan ini sebelumnya didasari alasan Wakil Kepala BRIN, Amarulla Octavian bahwa sentralisasi bertujuan meningkatkan kapasitas peneliti dengan dukungan fasilitas yang sama dan lebih terpusat di pusat keunggulan. Menurutnya, konsentrasi fasilitas merupakan langkah strategis mengingat anggaran BRIN dan negara yang terbatas.

Namun, implementasinya menuai kritik. Seorang peneliti BRIN di Kawasan Sains dan Edukasi Ahmad Baiquni, Yogyakarta, mengungkap kesenjangan fasilitas yang ada. Di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) Soekarno, Cibinong yang menjadi homebase bagi Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, Kesehatan, serta Pertanian dan Pangan misalnya, para peneliti sering kesulitan mendapatkan tempat duduk dan terpaksa bekerja di luar kantor setiap hari.

Isu fasilitas juga merambah keamanan riset. Peneliti hayati khawatir kantor pusat belum memiliki fasilitas memadai untuk menyimpan bahan-bahan kimia berbahaya yang saat ini dititipkan di laboratorium mitra seperti Universitas Gadjah Mada (UGM).

Arif menyebut, selama dua bulan ke depan, ia akan meramu semua masukan dan evaluasi ini menjadi kerangka kerja strategis.

Di sisi lain, Kepala BRIN yang baru ini juga menyoroti masalah struktural yang lebih luas, yakni minimnya jumlah periset di Indonesia.

“Jumlah ini memang secara rasio Indonesia masih di bawah negara-negara lain,” ungkap Arif. Ia mencontohkan, negara maju dengan kekuatan ekonomi pasti ditopang oleh jumlah peneliti yang memadai.

Arif menegaskan, konsolidasi tidak hanya terjadi di tubuh BRIN, tetapi juga secara nasional. Ia ingin menjadikan BRIN sebagai “rumah” dan pusat orkestrasi yang memperkuat kolaborasi dan sinergi antara peneliti yang tersebar di kampus, lembaga swasta, dan berbagai institusi lain.

“Big picture-nya atau kerangkanya adalah seperti yang sudah saya sampaikan kemarin bahwa kita perlu konsolidasi nasional dalam bidang riset dan inovasi,” tandas Arif.

Selain pembenahan internal, isu pangan dan energi menjadi dua kajian strategis yang dicanangkan Arif membutuhkan kolaborasi erat dengan kementerian teknis, termasuk Kementerian Pertanian dan Kementerian ESDM.

Bagikan