
BicaraPlus – Pemerintah kembali menghidupkan wacana lama. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bakal menghidupkan lagi Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT), program khusus yang pernah dicoba sejak hampir satu dekade lalu. Bedanya, kali ini Purbaya terang-terangan mengatakan akan menggandeng para penjual rokok ilegal.
“Kalau kami bunuh semua, ya matilah mereka,” ucap Purbaya, belum lama ini, Jakarta.
Pernyataan itu bukan sekadar seloroh. Di baliknya ada dua persoalan besar: tingginya peredaran rokok ilegal yang menggerus penerimaan negara, sekaligus problem sosial-ekonomi yang tak bisa diselesaikan dengan pendekatan represif semata.
Ilegal Jadi Legal
Konsep KIHT sederhana. Para produsen dan pedagang rokok ilegal dikumpulkan di satu kawasan tertentu. Di sana disediakan gudang, mesin, pabrik, hingga kantor Bea Cukai. Konsepnya sentralisasi plus one stop service.
Mereka yang tadinya di luar sistem, diberi peluang masuk. Konsekuensinya, produk bisa dijual secara legal, asalkan membayar cukai dan mengikuti aturan.
Purbaya menyebut, pendekatan ini bukan sekadar memberi ampun. Negara tetap untung karena pajak masuk, sementara usaha kecil tetap hidup. Dalam jangka panjang, persaingan dengan perusahaan besar pun diharapkan lebih adil.
Cerita Lama dari Kudus dan Parepare
KIHT bukan ide baru. Program serupa sudah dicoba sejak era Menteri Keuangan sebelumnya. Lokasinya di Kudus, Jawa Tengah—basis industri rokok kretek—dan Parepare, Sulawesi Selatan.
Namun, hasilnya jauh dari mulus. Pada 2024, Purbaya menyebut sudah ada lima lokasi KIHT berjalan. Tapi ia sendiri menilai program itu belum efektif.
“Nih Pak, sudah ada lima. Kalau ada lima, paling enggak ada masalah dong saya? Ternyata masih ada kan? (masalah). Berarti belum jalan,” ujarnya, dengan nada frustrasi.
Problem utamanya ada di lapangan. Banyak produsen kecil enggan masuk karena terbebani biaya atau takut terseret aturan rumit. Sementara aparat Bea Cukai kesulitan mengawasi rantai distribusi yang panjang dan penuh celah.
Operasi Penindakan Tetap Masif
Meski ingin merangkul, pemerintah tetap mengandalkan pendekatan keras. Purbaya menugaskan langsung Dirjen Bea Cukai, Djaka Budi Utama, untuk meningkatkan operasi pemberantasan.
“Pemberantasan rokok ilegal bukan sekadar penegakan hukum. Ini soal keadilan bagi pelaku usaha legal dan keberlanjutan ekonomi nasional,” kata Purbaya.
Beberapa langkah sudah ditempuh. Pemerintah memanggil platform e-commerce, seperti Bukalapak untuk menghentikan penjualan rokok ilegal. Pengawasan impor diperketat, terutama di green line pelabuhan. Nama-nama penjual sudah terdeteksi, kata Purbaya, dan operasi penangkapan tinggal menunggu waktu.
Masalah Lama, Sistem yang Tambal Sulam
Rokok ilegal bukan isu baru. Setiap kali harga cukai naik, peredaran rokok tanpa pita resmi ikut melonjak. Alasannya jelas: daya beli masyarakat rendah, sementara industri kecil tak mampu bersaing dengan perusahaan besar.
Di Jawa Tengah, misalnya, banyak produsen rumahan bertahan dengan memproduksi rokok murah tanpa cukai. Bagi mereka, membayar cukai berarti mati. Tapi bagi negara, membiarkan mereka beroperasi berarti kehilangan triliunan rupiah.
Dilema inilah yang coba dijawab lewat KIHT: memberi pintu masuk legal bagi pelaku kecil. Namun, sejarah menunjukkan, tanpa desain insentif yang jelas, program ini rawan mandek.
Target Penerimaan Jadi Taruhannya
Konteks ekonomi membuat masalah ini semakin mendesak. Dalam RAPBN 2026, target kepabeanan dan cukai dipatok Rp334,3 triliun. Angka itu naik 10,84 persen dari APBN 2025, dan 7,7 persen lebih tinggi dari outlook 2025.
Dengan target sebesar itu, pemerintah tak bisa membiarkan peredaran rokok ilegal tetap masif. Setiap batang rokok tanpa pita cukai berarti kebocoran penerimaan negara.
Karena itu, strategi Purbaya bersifat ganda, yakni “merangkul sambil menindak.”
Jalan Tengah atau Jalan Buntu?
Pertanyaannya, apakah strategi ini realistis. Di satu sisi, KIHT bisa menjadi jalan tengah yang memberi ruang bagi pelaku kecil untuk bertahan. Legalitas memberi mereka kepastian, negara pun tetap mendapat penerimaan.
Di sisi lain, tanpa perbaikan tata kelola, KIHT hanya jadi formalitas. Produsen bisa saja masuk, tapi tetap menjual sebagian produksinya secara ilegal di luar sistem. Atau justru enggan masuk karena beban regulasi terlalu berat.
Bagi perusahaan besar, langkah ini juga bisa dilihat sebagai bentuk “pengampunan” bagi pesaing yang selama ini merugikan mereka. Sementara bagi masyarakat, pertanyaan soal kesehatan publik akibat konsumsi rokok nyaris tak tersentuh.
Purbaya optimistis, dengan kombinasi pengecekan platform, kerja sama antar-institusi, dan penindakan, peredaran rokok ilegal bisa signifikan berkurang dalam waktu dekat, bahkan dalam hitungan bulan.
Namun, melihat rekam jejak KIHT sebelumnya, janji itu masih menyisakan keraguan. Tanpa desain yang benar-benar berpihak pada pelaku kecil, sekaligus transparan dalam pengawasan, program ini bisa saja hanya mengulang kegagalan lama.
Pada akhirnya, kebijakan ini bukan sekadar soal menertibkan rokok ilegal. Ia menyangkut lebih besar: bagaimana negara menyeimbangkan penerimaan fiskal, kepentingan industri, dan keberlangsungan usaha kecil dalam satu tarikan napas yang sama.
Dan di situlah, jalan tengah yang dijanjikan Purbaya diuji, apakah benar bisa jadi solusi, atau justru jalan buntu lain dalam sejarah panjang peredaran rokok ilegal di Indonesia.
Foto: Istimewa