Kasus Timothy di Unud: Intervensi HAM dan Jerat Permendikbudristek untuk Pelaku Perundungan

01K03M55KC7JEJT55N3EN1ZRDM media library original 800 450

BicaraPlus – Tragedi jatuhnya Timothy Anugerah Saputra (22) dari lantai empat Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana (Unud) pada Rabu (15/10) kini tak lagi sekadar perkara kecelakaan. Insiden yang merenggut nyawa mahasiswa tersebut telah menyeret dugaan perundungan (bullying) hingga memicu intervensi langsung dari lingkaran pemerintahan.

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, secara tegas mendesak Unud untuk tidak ragu menjatuhkan sanksi disiplin kepada setiap individu, baik yang terlibat perundungan langsung maupun yang sekadar melontarkan komentar nirempati atas kematian Timothy. Desakan ini datang tak lama setelah Pigai mengunjungi Kampus Udayana di Sudirman, Denpasar, pada Jumat (24/10).

Pigai menegasnkan bahwa otoritas kampus, yang dipimpin rektor, harus mengacu pada kerangka hukum yang jelas, Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Penanganan Kasus Kekerasan di Perguruan Tinggi. Regulasi ini menjadi payung legal untuk menjerat pelaku kekerasan di lingkungan akademik, menegaskan bahwa kampus bukanlah zona abu-abu yang kebal hukum.

“Memang ada tindakan bullying terhadap almarhum. Terkait dengan peristiwa yang terjadi, terutama mereka yang melakukan bullying, Pak Rektor yang mengambil keputusan. Saya yakin Rektor akan mengambil keputusan yang adil,” ujar Pigai, menaruh kepercayaan pada institusi Unud seraya memberikan tekanan publik yang signifikan.

Keadilan Tiga Pilar dan Penyelidikan Ilmiah Polisi

Menurut Pigai, keadilan dalam kasus ini memiliki tiga dimensi yang wajib dipenuhi bagi korban (almarhum Timothy), keluarga terdekat, dan masyarakat publik yang menuntut transparansi. Pigai lantas meminta penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, untuk menjalankan tugas utamanya, mengusut tuntas keterkaitan antara dugaan perundungan dengan peristiwa kematian Timothy.

Proses yang sedang berjalan di Polda Bali bukan sekadar penyelidikan biasa, melainkan diarahkan pada metode “scientific investigation” atau penyelidikan ilmiah. Pigai menyebut, metode ini krusial untuk memberikan “keyakinan” dan “informasi yang sah” bagi keluarga korban.

“Penyelidikan ilmiah ini dilakukan dengan memeriksa ponsel, nomor komunikasi terakhir, alat komunikasi yang terhubung dengan perangkat korban, serta alat-alat yang berpotensi memberi petunjuk dan mengungkap fakta,” jelas Pigai. Data digital dari ponsel dan laptop korban diharapkan mampu menjadi “sidik jari” yang mengungkap kronologi psikologis sebelum tragedi terjadi.

Kepolisian Daerah (Polda) Bali sendiri memastikan komitmen mereka untuk mengusut kasus ini tanpa pandang bulu. Kabid Humas Polda Bali, Kombes Pol Ariasandy, menegaskan bahwa setiap laporan akan ditindaklanjuti, apalagi yang menyangkut tindak pidana.

Hingga Jumat, sudah 21 orang dimintai keterangan sebagai saksi. Daftar saksi ini cukup komprehensif, mulai dari kawan sekelas, dosen, operator CCTV, hingga petugas kebersihan yang melihat langsung detik-detik Timothy terjatuh.

“Bahkan ada yang melihat pas dia melayang dari atas, turun ke bawah atau jatuhnya,” ungkap Ariasandy.

Saat ini, fokus utama penyidik beralih ke ranah digital. Ponsel dan laptop Timothy telah diserahkan keluarga dan kini berada di tangan Direktorat Reserse Siber (Ditressiber) Polda Bali. Langkah ini menegaskan bahwa polisi tengah mencari jejak digital, pesan, unggahan, atau log komunikasi yang dapat menjadi kunci untuk menjawab pertanyaan krusial, apakah tindakan nirempati dan bullying di balik layar punya peran determinan dalam tragedi yang menimpa Timothy Anugerah Saputra? Hasil akhir penyelidikan ilmiah inilah yang akan menentukan apakah kasus kematian Timothy hanya akan tercatat sebagai insiden, ataukah sebagai tindak pidana yang berakar dari kekerasan di kampus.

Bagikan