
Sejarah Indonesia adalah mozaik yang tersusun dari ribuan kisah pahlawan. Namun, di antara nama-nama yang sering disebut, ada satu sosok yang pemikirannya begitu cemerlang, perjuangannya begitu total, namun nasibnya berakhir tragis di tangan bangsanya sendiri. Dialah Tan Malaka, seorang pejuang revolusioner yang diberi julukan Bapak Republik Indonesia. Lantas, mengapa julukan itu melekat pada dirinya, dan apa yang membuatnya terpinggirkan dari narasi sejarah resmi?
Mengapa Tan Malaka adalah Bapak Republik?
Julukan “Bapak Republik Indonesia” bukanlah sekadar gelar kehormatan. Julukan ini diberikan oleh Mohammad Yamin sebagai pengakuan atas sumbangsih pemikiran Tan Malaka dalam mendefinisikan dan memperjuangkan konsep “Republik Indonesia”. Karya monumental yang menjadi dasarnya adalah buku “Naar de Republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia) yang ditulisnya pada tahun 1925.
Buku ini memuat cetak biru perjuangan untuk melepaskan diri dari kolonialisme, sebuah konsep yang begitu matang dan progresif. Pemikiran ini tidak hanya berteori, tetapi juga menjadi inspirasi bagi para pendiri bangsa, termasuk Soekarno dan Mohammad Hatta. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, Tan Malaka sudah mengartikulasikan dengan jelas apa itu Indonesia dan bagaimana bangsa ini harus berjuang. Kontribusi pemikirannya inilah yang menjadikannya layak disebut sebagai salah satu arsitek Republik.
Profil Singkat Sang Pemikir Revolusioner
Lahir dengan nama Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka di Payakumbuh, Sumatra Barat pada tahun 1897, Tan Malaka tumbuh besar dalam lingkungan yang agamis namun dengan karakter yang berani dan mandiri. Meskipun dikenal cerdas dan memiliki pemikiran tajam, ia bukan anak yang penurut. Ia lebih suka bermain bola dan musik, bahkan sering berkelahi jika ditantang. Sifat inilah yang membentuknya menjadi sosok revolusioner: jujur, sedikit pemberang, dan berkemauan keras.
Pendidikannya membawanya dari Sekolah Guru di Tanah Air hingga ke Rijkskwekschool di Belanda. Di sana, ia mulai mendalami paham sosialisme-komunisme dan kapitalisme-demokrasi, yang kelak menjadi fondasi pemikiran revolusionernya. Setelah kembali ke Indonesia, ia langsung bergabung dengan barisan perjuangan kemerdekaan, bertemu banyak tokoh hebat, dan memulai perjalanannya yang penuh rintangan.
Perjuangan yang Tak Kenal Henti dan Akhir yang Tragis
Perjuangan Tan Malaka dilakukan dengan cara yang beragam. Selain menulis buku-buku besar, seperti “Madilog”, “Gerpolek”, dan “Dari Penjara ke Penjara”, ia juga aktif dalam gerakan massa dan bahkan ikut terjun ke medan perang. Kerasnya perlawanannya membuat ia diburu oleh polisi internasional, keluar-masuk penjara, dan hidup dalam pelarian politik.
Kutipan terkenalnya, “Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya,” menggambarkan sikapnya yang menolak kompromi dengan Belanda. Tan Malaka merasa bahwa para pemimpin terlalu lunak dalam berdiplomasi, sementara ia yakin kemerdekaan harus diperjuangkan hingga 100% tanpa perundingan.
Ironisnya, sikap tegasnya ini justru dianggap sebagai pemberontakan oleh bangsanya sendiri. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di Kediri, Jawa Timur. Kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun, dan jasadnya dimakamkan di tengah hutan tanpa laporan resmi.
Pahlawan Nasional yang Terlupakan
Meskipun tragis, kontribusi Tan Malaka akhirnya diakui secara resmi. Pada 23 Maret 1963, Presiden Soekarno menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Namun, di era Orde Baru, nama Tan Malaka praktis dihapuskan dari kurikulum sejarah sekolah. Padahal, ia sendiri dibenci oleh PKI karena menolak pemberontakan mereka pada 1926-1927. Rezim anti-komunis Orde Baru tetap merasa terganggu dan memilih untuk menyembunyikan nama pahlawan besar ini.
Kisah Tan Malaka adalah pengingat bahwa sejarah tidak selalu hitam-putih. Ia adalah sosok visioner yang berani berdiri di jalur yang berbeda, memberikan fondasi pemikiran bagi kemerdekaan, namun harus menghadapi nasib pahit. Mempelajari jejaknya adalah cara untuk menghargai setiap tetes keringat, darah, dan pemikiran yang membangun Republik ini, dari sudut pandang yang lebih utuh.
Untuk Anda yang ingin menyelami pemikiran sang revolusioner, beberapa karyanya yang melegenda adalah “Madilog”, “Aksi Massa”, “Dari Penjara ke Penjara”, “Gerpolek”, dan “Menuju Merdeka 100%”. Membaca buku-buku tersebut akan membuka mata kita tentang kedalaman pemikiran Tan Malaka yang jauh melampaui zamannya.





