Hoegeng Iman Santoso: Polisi Jujur yang Jadi Cermin Bagi Penegak Hukum

Untitled design 29

BicaraPlus – Suatu pagi di sebuah perempatan jalan Jakarta pada akhir 1960-an, para pengendara terkejut melihat seorang jenderal berbintang empat berdiri di tengah jalan, mengatur lalu lintas dengan tangan kosong. Dialah Hoegeng Iman Santoso, Kapolri saat itu. Bagi Hoegeng, jabatan tertinggi pun tidak membebaskannya dari tugas sederhana: melayani rakyat.

Kisah ini hanya satu dari sekian banyak cerita tentang ketulusan dan integritas Hoegeng. Di tengah godaan fasilitas mewah, uang sogokan, dan rayuan kekuasaan, ia memilih tetap tegak pada sumpahnya. Tidak bisa dibeli, tidak mau kompromi.

Ia adalah Kapolri ke-5 (1968–1971), sosok yang dikenal bukan karena kekuasaan, melainkan karena kejujuran. Baginya, lebih baik hidup sederhana ketimbang kehilangan integritas. Hingga kini, ia tetap dikenang sebagai simbol polisi jujur di negeri ini.

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahkan pernah berseloroh, “Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.” Sebuah kalimat satir yang menegaskan, betapa kejujuran Hoegeng adalah sesuatu yang langka sekaligus berharga.

Tidak Bisa Dibeli

Sejak muda, Hoegeng memegang prinsip bahwa jabatan bukan untuk memperkaya diri. Ia pernah menolak hadiah mewah dari pengusaha penyelundup yang berusaha melobi kasusnya agar tidak dibawa ke pengadilan. Semua hadiah berupa mobil dan barang-barang berharga dikembalikan tanpa kompromi.

Di Sumatra Utara, ketika para bandar judi mencoba “menyambutnya” dengan mengirim kulkas, piano, hingga sofa mahal ke rumah dinasnya, Hoegeng tak segan-segan memerintahkan agar semua barang itu dikeluarkan dan diletakkan di depan rumah. Baginya, lebih baik hidup sederhana ketimbang melanggar sumpah jabatan.

Mengorbankan Kepentingan Pribadi

Hoegeng sadar betul, integritas harus dimulai dari rumah sendiri. Saat menjabat Kepala Jawatan Imigrasi, ia meminta istrinya menutup usaha toko bunga. Alasannya sederhana, ia tak ingin ada pihak yang berurusan dengan imigrasi merasa perlu “membeli kedekatan” dengan memesan bunga dari toko sang istri.

Keputusannya itu mungkin terasa pahit, tetapi di situlah harga mahal integritas dibayar, menjaga nama baik dan kepercayaan publik.

Polisi adalah Pelayan Rakyat

Meski sudah berpangkat jenderal bintang empat, Hoegeng tidak segan turun tangan mengatur lalu lintas di perempatan jalan. Baginya, polisi, dari pangkat terendah hingga tertinggi, tetaplah pelayan masyarakat.

Ia menolak melihat pangkat dan jabatan sebagai “tahta”, melainkan amanah untuk hadir di tengah rakyat.

Hidup Sederhana, Meninggal Merakyat

Hingga akhir hayatnya, Hoegeng konsisten menolak fasilitas berlebihan. Ia pernah menolak tanah kavling, rumah dinas, hingga mobil dinas yang dianggap terlalu mewah. Lebih menyentuh lagi, ia berwasiat agar tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ia ingin dikuburkan bersama rakyat biasa, agar tetap menyatu dengan mereka yang ia layani sepanjang hidupnya.

Pesan untuk Polisi Masa Kini

Hoegeng pernah berujar, “Baik menjadi orang penting, tapi lebih penting menjadi orang baik.”
Kata-kata sederhana ini kini terasa semakin relevan.

Di era ketika masyarakat begitu kritis terhadap integritas aparat, polisi masa kini ditantang untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar mengabdi, bukan memperdagangkan kewenangan. Semangat Hoegeng adalah pengingat bahwa jabatan, pangkat, dan seragam hanyalah alat; yang terpenting adalah hati yang jujur dan keberanian untuk menolak godaan.

Jenderal Hoegeng membuktikan bahwa integritas seorang polisi bisa lebih berharga daripada seribu bintang di pundak. Ia meninggalkan warisan bukan berupa harta, melainkan teladan bahwa kesetiaan pada kejujuran adalah pangkat tertinggi seorang polisi.

Naskah: Berbagai Sumber | Foto: Dok. Istimewa

Bagikan