
Di tengah gelombang aksi massa yang mengguncang berbagai daerah, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X melontarkan pesan sederhana namun sarat makna: empan papan. Sebuah falsafah Jawa yang berarti menempatkan diri sesuai kedudukan, situasi, dan kondisi.
Sekilas terdengar klise, tetapi sesungguhnya inilah akar dari masalah kepemimpinan kita. Banyak pejabat lupa bagaimana merasakan denyut nadi masyarakat. Mereka sibuk dengan pencitraan, sibuk pamer fasilitas, sibuk berbicara di mimbar, tetapi abai pada satu hal, yaitu kesederhanaan dan kepekaan.
Sultan menegaskan, ketika masyarakat terhimpit kesulitan ekonomi, pejabat harus tahu diri. Tidak elok mempertontonkan kemewahan di hadapan rakyat yang sedang berjuang sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sinilah empan papan diuji. Bukan soal seberapa tinggi jabatan, melainkan seberapa rendah hati seorang pemimpin untuk menyelami penderitaan rakyatnya.
Lebih jauh, pesan Sultan juga mengandung kritik halus terhadap gaya kepemimpinan yang hanya mengedepankan rasionalitas, apa yang dipikirkan tanpa menghadirkan empati, apa yang harus dirasakan. Padahal, dalam tradisi kepemimpinan Jawa, seorang pemimpin ideal adalah yang mampu “ngerti sakderma”, tahu batas, dan tidak berlebihan.
Hari ini, ketika jarak sosial semakin lebar dan ketidakpercayaan pada pejabat publik kian dalam, nasihat Sultan terasa relevan sekaligus mendesak. Empan papan bukan sekadar etika Jawa; ia adalah resep sederhana untuk merawat kepercayaan rakyat.
Seorang pemimpin yang tahu menempatkan diri tidak perlu bersuara lantang. Kesederhanaannya sudah cukup menjadi bahasa. Kepekaannya sudah cukup menjadi teladan. Dan justru dari situlah legitimasi sejati seorang pemimpin lahir.





