
BicaraPlus – Pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai fenomena siswa “nakal” hingga “kurang ajar” di sekolah, yang disampaikan dalam Hari Guru Nasional 2025, memicu respons dari Komisi X DPR RI. Pernyataan tersebut, yang secara terbuka mendukung guru untuk bersikap tegas dan keras, dinilai sebagai sinyal politik untuk memperkuat pelindungan profesi guru dari ancaman kriminalisasi.
Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, menilai dukungan Presiden tersebut menegaskan agar tidak ada lagi kasus guru yang dijerat hukum karena menegakkan disiplin.
“Jadi dari sisi Pak Prabowo sebagai Presiden beliau sangat peduli kepada pelindungan guru. Tidak boleh ada guru yang dikriminalisasi,” ujar Hetifah di Jakarta Pusat, kemarin.
Pernyataan ini muncul sebagai respon terhadap kasus-kasus yang sering terjadi, di mana guru berhadapan dengan tuntutan hukum setelah menerapkan tindakan disiplin terhadap siswa. Dukungan eksplisit dari kepala negara dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk mengembalikan otoritas moral guru di lingkungan sekolah.
Otoritas Guru vs Pendidikan di Rumah
Dalam acara tersebut, Prabowo sempat berbagi pengalaman dan menggarisbawahi pentingnya ketegasan guru: “Kalau guru itu keras, jangan-jangan anakmu yang nakal. Kalau anak nakal terus dibiarkan nakal, dia nggak jadi orang baik.” Ia juga membedakan antara kenakalan wajar dan sikap “kurang ajar,” yang dinilainya sudah melampaui batas kewajaran.
Kisah Prabowo saat menjabat Menteri Pertahanan (Menhan) di mana ia membela kepala sekolah yang memberhentikan anak seorang jenderal karena bersikap tidak sopan kepada guru menjadi narasi kunci. Kisah ini menegaskan pandangannya: anak pejabat seharusnya bersikap lebih sopan dan tertib.
Namun, Hetifah menambahkan dimensi lain dalam polemik ini, yakni peran fundamental keluarga. Politisi dari Partai Golkar ini menegaskan bahwa beban moral dan tanggung jawab pembentukan karakter tidak bisa disematkan sepenuhnya kepada guru.
“Pendidikan itu setengah di rumah, setengah di sekolah. Kan dua-duanya harus berkualitas. Bukan guru semata yang salah jika ada anak-anak yang memiliki mungkin sikap-sikap tertentu yang perlu disiplin dan lain-lainnya,” pungkas Hetifah.
Tantangan Literasi Digital Orang Tua
Hetifah Sjaifudian menyoroti penguatan fungsi keluarga sebagai langkah struktural untuk mencegah kenakalan anak. Ia menekankan bahwa jarak komunikasi antara orang tua dan anak harus dihindari. Secara spesifik, Hetifah menyinggung tantangan teknologi. “Ibu-ibu itu tidak boleh gaptek [gagap teknologi]. Tapi intinya, pendidikan formal dengan pendidikan ke-orang tuaan dan rumah tangga itu penting,” ungkapnya.
Pernyataan ini menggeser fokus perdebatan dari semata-mata sanksi sekolah ke kualitas pengawasan orang tua di era digital. Orang tua dituntut tidak hanya menguasai teknologi untuk mengawasi, tetapi juga menjalin komunikasi yang berkualitas di rumah.
Pada akhirnya, isu pelindungan guru dan penegakan disiplin di sekolah menemukan titik persinggungan dengan tanggung jawab di rumah. Dukungan Presiden terhadap ketegasan guru harus diimbangi dengan upaya struktural penguatan fungsi keluarga, agar beban pendidikan karakter tidak menjadi single responsibility bagi para pengajar.





