
BicaraPlus – Metode desil Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat menuai sorotan tajam. Skema pembagian penduduk ke dalam sepuluh kelompok dinilai tidak sesuai dengan kondisi nyata, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Anggota DPD RI asal NTT, dr. Stevi Harman, menegaskan bahwa pengelompokan berdasarkan desil sering keliru memotret kemiskinan. Akibatnya, banyak keluarga miskin yang seharusnya berhak menerima bantuan sosial malah terhapus dari daftar penerima.
“Di NTT, konsentrasi kemiskinan menumpuk di lapisan terbawah. Masyarakat di desil 4, 5, bahkan 6, kenyataannya masih hidup dengan kondisi nyaris sama dengan desil 1 hingga 3,” ujar Stevi saat Rapat Kerja bersama BPS RI, Selasa (23/9/2025).
Ia mencontohkan banyak keluarga yang kesulitan membeli kebutuhan pokok justru dicap ‘menengah’ hanya karena indikator teknis, seperti lantai rumah, akses listrik, atau kepemilikan telepon.
“Banyak keluarga yang nyata-nyata miskin justru terhapus dari daftar penerima bantuan, semata-mata karena posisi mereka secara data berada di desil 5 atau 6,” tegasnya.
Selain meminta evaluasi metode desil, Stevi juga menyoroti nasib petugas lapangan BPS yang disebutnya sebagai garda terdepan pengumpulan data, namun status kerjanya masih belum jelas. Ia mendesak agar pemerintah mengangkat mereka menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) demi akurasi dan keberlanjutan data.
“Dengan status yang lebih jelas, para petugas akan bekerja lebih optimal dan terlindungi, sekaligus menjamin data yang dihasilkan lebih akurat,” pungkasnya.