Dari Wakaf Jalan Jadi Framing TikTok: Nasib Eks Dosen UIN Malang yang Diusir Tetangga

Untitled design 83

BicaraPlus – Imam Muslimin—akrab dipanggil Yai Mim—pernah jadi dosen di UIN Malang, seorang penghafal Al-Qur’an, dan dihormati di lingkungannya. Tapi hari-hari itu kini tinggal cerita. Ia harus angkat kaki dari rumahnya sendiri di Perumahan Joyogrand, Malang, setelah warga sepakat mengusirnya.

Ironisnya, semua bermula dari kebaikan. Pada 2007, Imam dan istrinya, Rosida Vignesvari, membeli sebidang tanah. Sebagian mereka sedekahkan untuk jalan, agar akses kompleks tidak lagi sekadar setapak sempit. “Itu tanah yang kami beli, lalu kami sedekahkan untuk jalan. Bukan untuk parkir mobil rental atau kandang kambing,” ujar istri Yai Mim, Rosida (29/9/2025).

Tetapi, niat baik itu berubah jadi malapetaka. Sahara, tetangga mereka, memagar tanah wakaf itu untuk parkir mobil dan kandang ternak. Perseteruan pun pecah.

Dari Sengketa Tanah ke TikTok

Seandainya konflik hanya berhenti pada sengketa lahan, mungkin masalah bisa dimediasi. Namun Sahara mengunggah video Imam “berguling di tanah” ke TikTok. Potongan itu cepat viral, warganet menertawakan, mengejek, dan memberi label buruk. Imam dicap aneh, provokatif, bahkan “pura-pura stroke.”

Tak berhenti di sana, tuduhan lain dilontarkan, yakni pelecehan, perusakan mobil, hingga memprovokasi mahasiswa. Publik yang tak pernah tahu duduk perkara, telanjur lebih percaya pada narasi yang disajikan lewat potongan video.

Bagi Imam, dampaknya fatal. Ia kehilangan pekerjaannya di UIN Malang, reputasi runtuh, dan akhirnya warga komplek sendiri sepakat mengusirnya.

“Trial by TikTok”

Kasus ini menggambarkan fenomena yang makin sering terjadi, trial by TikTok. Di mana video berdurasi 30 detik bisa menyingkirkan konteks, mereduksi kompleksitas, dan menciptakan vonis instan.

Dalam kasus Yai Mim, warganet seolah jadi hakim kolektif. Alih-alih bertanya: siapa benar, siapa salah?—publik menelan framing visual tanpa verifikasi. Di era algoritma, opini publik bisa digiring lebih cepat daripada proses hukum.

Padahal belakangan, bukti baru muncul bahwa tanah yang dipakai Sahara untuk parkir ternyata benar tanah wakaf dari Imam. Narasi mulai berbalik. Akun-akun yang dulu mencibir justru membelanya. Netizen yang semula jadi algojo digital, kini jadi pembela.

Pola Lama: Dari Audrey ke Yai Mim

Fenomena ini bukan kali pertama terjadi. Pada 2019, publik Indonesia diguncang kasus “Justice for Audrey”. Seorang siswi SMP di Pontianak disebut dikeroyok oleh 12 siswi SMA. Narasi itu viral di Twitter, membuat linimasa meledak dengan tagar solidaritas.

Tapi fakta kemudian membantah sebagian klaim: jumlah pelaku tak sebanyak yang diberitakan, luka fisik tak separah yang digambarkan. Namun sebelum klarifikasi keluar, linimasa sudah telanjur menghukum. Para remaja yang dituduh jadi pelaku di-bully massal, keluarganya tertekan, dan reputasi mereka hancur di usia belia.

Kasus Audrey menunjukkan pola yang sama, yaitu narasi tunggal yang viral mengalahkan fakta yang kompleks. Publik lebih cepat memutuskan vonis ketimbang menunggu proses hukum.

Hari ini, pola itu kembali dalam kasus Imam Muslimin. Bedanya, kali ini bukan pelajar yang terlibat, tapi seorang dosen, tetangganya, dan sebuah perumahan elit di Malang.

Antara Hukum dan Opini Publik

Pengusiran Imam dan istrinya mengingatkan pada paradoks, hukum negara berjalan lambat, sementara pengadilan warganet bekerja dalam hitungan detik. Imam memang melaporkan balik Sahara ke polisi, Sahara pun melaporkannya dengan pasal ITE. Namun sebelum proses hukum bicara, reputasi Imam sudah hancur lebih dulu.

Ketua Dewan Pers pernah mengingatkan, kemerdekaan pers dan secara lebih luas, kebebasan informasi harus diimbangi dengan tanggung jawab. Karena potongan informasi yang dilepas ke publik bisa membunuh karakter seseorang.

Kasus Imam Muslimin bukan semata perseteruan dua tetangga. Ia contoh nyata bagaimana media sosial bisa mengubah konflik privat menjadi tontonan massal. Dalam proses itu, reputasi, pekerjaan, bahkan tempat tinggal seseorang bisa lenyap hanya karena framing video.

Padahal, fungsi media dalam demokrasi, sebagaimana diamanatkan UUD 1945, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan mengeroyok dengan potongan narasi, melainkan memberi ruang publik untuk memahami persoalan secara utuh.

Bagi Imam, nasi sudah menjadi bubur. Ia kini memilih menjual rumahnya dan pindah, setelah kalah di pengadilan opini. Bagi publik, pertanyaan yang tersisa lebih penting, apakah kita sadar betapa mudahnya satu klik “unggah” bisa mengubah hidup orang lain?

Foto: Freepik

Bagikan