
BicaraPlus – Di tengah gempuran adopsi 5G yang belum merata, Indonesia melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengambil langkah antisipatif menuju generasi komunikasi ultra-cepat, 6G. Riset tidak hanya fokus pada perangkat keras, tetapi juga pada arsitektur jaringan yang menopangnya.
Dua teknologi kunci kini menjadi pusat perhatian BRIN, yakni pengembangan perangkat sub-terahertz (sub-THz) berbasis optikal dan pembangunan arsitektur jaringan cloud cerdas. Keduanya digadang menjadi fondasi utama yang memungkinkan sistem komunikasi mencapai kecepatan yang diprediksi 100 kali lipat dari 5G.
Peneliti Pusat Riset Telekomunikasi BRIN Ken Paramayudha dalam webinar PRT #6, belum lama ini, memaparkan bahwa spektrum sub-terahertz adalah kandidat paling kuat untuk menghadirkan komunikasi berkecepatan sangat tinggi di era Beyond 5G. Prediksi kebutuhan data pada 6G yang mencapai 100 kali lipat lebih cepat dibanding pendahulunya menuntut eksplorasi pita frekuensi yang lebih tinggi.
“Teknologi telekomunikasi akan semakin maju dan beralih menuju 6G. Di mana, kebutuhan akan kecepatan data dapat mencapai hingga seratus kali lebih cepat dibanding 5G,” ujar Ken.
Tantangan mendasar terletak pada kemampuan menghasilkan sinyal sub-terahertz secara stabil dan efisien. Tim BRIN merespons dengan pendekatan difference frequency generation (DFG). Mereka memanfaatkan material optik non-linear yang diintegrasikan ke dalam rectangular waveguide.
Pendekatan DFG ini terbukti memungkinkan perangkat memproduksi continuous wave signal hingga 100 GHz pada suhu ruangan, menjadikannya praktis untuk implementasi industri. Integrasi teknologi fotonik dan microwave melalui desain resonansi diklaim meningkatkan efisiensi penguatan sinyal, membuka peluang untuk aplikasi high-speed optical-electrical conversion dan transmitter radio berbasis serat optik.
6G Menuntut Kecerdasan Multidimensi Jaringan
Pada sesi terpisah, fokus dialihkan ke arsitektur jaringan. Arief Indra Irawan, seorang kandidat doktor di Okayama University, mengulas urgensi komunikasi cloud intelijen sebagai pilar jaringan 6G.
Arief menegaskan bahwa 6G menuntut konektivitas full-dimensional multi-access, yang mencakup integrasi antara komunikasi darat, udara (UAV), dan satelit. Jaringan harus mampu beradaptasi secara cerdas, khususnya dalam pemrosesan privasi (privacy processing) pada area multi-domain virtual networking.
Di sini, teknologi Deep Reinforcement Learning (DRL), sebuah algoritma kecerdasan buatan, menjadi kunci. DRL memungkinkan jaringan melakukan optimasi jangka panjang berdasarkan kondisi lingkungan operasional waktu nyata (real-time).
“6G menuntut konektivitas full-dimensional multi-access yang mencakup integrasi darat, udara, dan satelit. Keputusan jaringan harus bersifat cerdas karena DRL mampu melakukan optimasi jangka panjang berdasarkan lingkungan operasional,” jelas Arief.
DRL diharapkan mampu mengotomatisasi penentuan penempatan fungsi layanan, mengoptimalkan jalur komunikasi lintas domain, dan menjaga efisiensi pemrosesan data.
Kombinasi antara inovasi perangkat keras berbasis sub-terahertz dan arsitektur jaringan yang digerakkan oleh kecerdasan buatan menjadi langkah esensial bagi Indonesia. BRIN menunjukkan ambisi untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi 6G yang diperkirakan matang pada 2030-2035, tetapi juga kontributor aktif dalam pengembangan inti teknologi telekomunikasi masa depan.





