
BicaraPlus – Di sebuah pulau kecil di Kepulauan Riau, proses belajar bahasa Inggris berlangsung tanpa layar, tanpa internet, dan tanpa perangkat digital. Anak-anak Pulau Sugie duduk melingkar di lantai kelas sederhana, mengelilingi sebuah buku cerita anak bergambar dwibahasa, lembar kegiatan, dan kartu kosakata warna-warni. Dari ruang belajar minim fasilitas itu, muncul kisah pembelajaran kreatif yang hangat dan penuh harapan.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program pengabdian masyarakat tim Program Studi Desain Komunikasi Visual (DKV) FSRD ITB yang diketuai oleh Riama Maslan Sihombing, bersama anggota tim Dianing Ratri, Gumawang Jati, dan Winda Kartika Laoli. Buku anak bergambar yang digunakan karya Winda Kartika Laoli menjadi materi utama untuk diuji langsung bersama anak-anak dan guru di Pulau Sugie.
Buku berjudul “Where Are They?” hadir dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris. Namun kekuatannya justru bukan pada kalimat, melainkan pada ilustrasi yang terasa dekat dengan kehidupan anak-anak pulau: pantai dengan perahu nelayan, hutan mangrove, rumah panggung, hingga kelas sederhana yang nyaris serupa dengan ruang tempat mereka duduk hari itu.
Setiap perpindahan adegan memperkenalkan kosakata baru :
• coconut di pantai
• school dan classroom di sekolah
• library di perpustakaan kecil
• mangrove site di kawasan mangrove
Selain buku utama, terdapat kartu kosakata, lembar kerja, dan lembar mewarnai seluruhnya media cetak yang dapat digunakan kapan saja, bahkan saat listrik padam.
Dari Menebak Gambar hingga Berani Menyapa
Uji coba dilakukan untuk siswa kelas 1–4 SD, berusia sekitar 7–10 tahun. Sesi dimulai dari menebak gambar di halaman buku. Saat satu per satu ilustrasi dibuka, anak-anak dengan cepat mengasosiasikan gambar dengan kata-kata yang dibacakan fasilitator.
Ketika kata coconut disebut, mereka serempak menunjuk gambar kelapa. Saat sampai di sekolah, kata school dan classroom diulang bersama-sama. Anak yang lebih besar tampil duluan; adik-adiknya menirukan dengan percaya diri.
Selama satu jam, terlihat perubahan kecil namun signifikan:
- mayoritas anak mampu mengingat beberapa kosakata dasar,
- mereka mulai berani mencoba sapaan sederhana,
- guru lokal mendapatkan ide baru untuk menghidupkan kelas lewat media yang mudah digandakan.
Pengalaman ini menegaskan bahwa pembelajaran interaktif tidak selalu bergantung pada teknologi tinggi. Di Pulau Sugie, media sederhana buku ilustrasi, kartu kosakata, aktivitas mewarnai mampu:
- menghubungkan pembelajaran bahasa Inggris dengan kehidupan sehari-hari anak pulau,
- memberi ruang bagi anak untuk menunjuk, menyebut, dan bertanya,
- mendorong kreativitas guru dalam kondisi minim fasilitas.
Suatu hari nanti, ketika turis kembali sandar di dermaga, mungkin anak-anak ini tak lagi hanya menyapa pelan dengan “Hello.” Mereka bisa melanjutkan dengan bangga: “My name is… This is my school.”
Semua berawal dari satu buku ilustrasi—lahir dari tugas akhir mahasiswa DKV ITB dan kini hidup sebagai media pembelajaran nyata di ruang kelas sederhana Pulau Sugie.





