
BicaraPlus – Bencana banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera, terutama Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh, menimbulkan kekhawatiran baru di sektor keuangan non-bank. Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) kini mulai menyuarakan langkah mitigasi terhadap potensi peningkatan kredit macet (Non-Performing Loan/NPL) yang tak terhindarkan.
Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno mengakui bahwa bencana alam bukanlah fenomena baru, sehingga perusahaan pembiayaan (multifinance) pada dasarnya sudah memiliki standar operasional prosedur (SOP) internal. Namun, Suwandi menekankan bahwa intervensi terhadap debitur yang terdampak, khususnya bagi jaminan yang hilang atau hanyut, akan sangat bergantung pada perjanjian awal.
“Masing-masing (perusahaan) pasti nanti akan melihat kondisi debiturnya sendiri. Enggak ada semacam aturan yang satu baku untuk semua,” tegas Suwandi dilansir dari Bisnis Indonesia (30/11).
Pernyataan Suwandi, yang juga Direktur Utama Chandra Sakti Utama Leasing (CSUL), menyoroti tiadanya aturan baku yang seragam. Langkah bantuan dan mitigasi risiko kredit macet diserahkan sepenuhnya kepada diskresi internal masing-masing perusahaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana perlindungan debitur dijamin oleh sektor ini, mengingat keputusan restrukturisasi atau rescheduling tidak dapat digeneralisasi.
Sebelum tindakan restrukturisasi diambil, APPI mengemukakan perlunya proses pendataan yang cermat. Namun, pendataan di wilayah Sumatera belum dapat dilakukan dalam waktu dekat karena wilayah tersebut masih berada dalam tahap pemulihan bencana.
Di luar mitigasi risiko, Suwandi menambahkan bahwa APPI tengah berupaya menggalang dana untuk membantu korban bencana sebagai bentuk simpati dan keprihatinan terhadap musibah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Kendati demikian, sikap APPI yang menekankan pada fleksibilitas SOP individual ini berpotensi menimbulkan disparitas perlakuan terhadap debitur yang memiliki jaminan serupa di wilayah bencana yang sama, tergantung pada kebijakan internal perusahaan pembiayaan yang mereka gunakan.
Sementara APPI menyoroti fleksibilitas internal, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memilih pendekatan yang lebih terstruktur. Ketua Umum AFPI, Entjik S. Djafar, menyatakan bahwa pihaknya telah membentuk Task Force Team khusus.
Tim ini bertugas melakukan riset data secara mendalam terhadap daerah-daerah yang terkena bencana di Sumatera.
“Sehingga (Task Force Team) dapat diantisipasi jika kemungkinan non-performing loan (NPL) naik,” ujar Entjik.
Hasil riset ini nantinya akan menjadi dasar untuk mendiskusikan skenario mitigasi kredit macet dengan para platform penyelenggara pinjaman daring (pindar). Mitigasi yang direncanakan dapat berupa program rescheduling.
AFPI juga telah mengeluarkan imbauan kepada para penerima pinjaman (borrower) yang terdampak bencana agar segera menghubungi platform pinjaman masing-masing untuk menginformasikan kondisi terkini. Langkah ini dianggap krusial untuk mempermudah proses identifikasi dan penanganan risiko secara proaktif.
Dengan minimnya intervensi struktural dari asosiasi dan penyerahan keputusan pada diskresi perusahaan, efektivitas mitigasi risiko kredit macet di sektor pembiayaan dan fintech pasca-bencana akan sangat bergantung pada komitmen dan transparansi masing-masing platform dalam mengimplementasikan skenario bantuan tersebut.





