Ahmad Dhani Usul Ada UU Anti-Flexing, DPR Dilarang Pamer Harta?

Your paragraph text 1

BicaraPlus – Flexing, alias pamer harta, mungkin udah jadi salah satu penyakit sosial di era medsos. Dari mulai influencer, crazy rich gadungan, sampai pejabat negara, semua pernah kena sorotan karena urusan pamer barang mewah. Nah, kali ini, yang merasa perlu turun tangan bukan akun gosip, tapi anggota DPR RI, Ahmad Dhani.

Dalam pertemuan Fraksi Gerindra di Jalan Kertanegara, Dhani nyampaikan arahan dari Presiden Prabowo Subianto. Salah satu yang menurutnya paling penting: anggota DPR Gerindra dilarang flexing.

“Arahannya banyak. Cuma tadi satu yang paling penting, jadi Bapak Prabowo menyarankan supaya anggota DPR Gerindra itu tidak boleh flexing,” kata Dhani, Senin (8/9).

Tak cukup sampai di situ, Dhani langsung ngegas, kalau perlu, bikin aja Undang-Undang Anti-Flexing, seperti yang berlaku di China. Katanya, usulan itu udah dia sampaikan ke pimpinan DPR, Sufmi Dasco Ahmad, dan… Dasco setuju.

Dhani sendiri ngaku tak masalah. “Wong saya nggak pernah flexing kan ya,” katanya enteng. Padahal, kalau lihat koleksi topi fedora dan kacamata hitamnya, ya itu juga bisa dibilang flexing versi lain.

Pro-Kontra Dimulai

Usulan Dhani tentu nggak lewat begitu saja. Sekjen Partai Demokrat Herman Khaeron menanggapi dengan gaya adem. Menurutnya, perlu-tidaknya UU Anti-Flexing ya tergantung kebutuhan masyarakat.

“Kalau misalkan memang anggota DPR nggak usah flexing, ya saya setuju gitu. Karena kita ini memang kayak rakyat. Kalau turun ke masyarakat, kita juga harus merendah, harus sama dengan mereka,” kata Herman di Senayan, Rabu (10/9).

Herman bahkan kasih contoh Eropa, di mana anggota parlemen biasa saja naik sepeda ke kantor. Tapi soal bikin UU Anti-Flexing, ia lebih realistis, harus dilihat urgensinya dulu.

Sementara itu, Golkar ambil posisi lebih keras. Sekjen sekaligus Ketua Fraksi, Sarmuji, bilang tidak semua hal harus diatur dengan undang-undang. “Hal yang sederhana tidak perlu diatur, ruwet ya. Jangan semua diatur Undang-Undang gitu loh,” tegasnya.

Menurut Sarmuji, soal flexing mestinya cukup diatur di level partai. Bikin aja kode etik internal, kasih aturan kepatutan diri, lalu disiplinkan anggotanya. “Masa urusan flexing diatur undang-undang sih. Ya cukup dikawal oleh pimpinan fraksinya masing-masing,” tambahnya.

Flexing Itu Perkara Serius?

Dari sini kita bisa lihat, ternyata flexing tidak lagi dianggap remeh. Setidaknya oleh Ahmad Dhani. Baginya, pamer barang branded bisa jadi citra buruk untuk wakil rakyat. Di saat rakyat ribut mikirin harga beras, kalau ada anggota DPR upload story beli jam tangan ratusan juta, ya jelas publik bakal ngamuk.

Tapi buat UU khusus? Itu cerita lain. Jangan-jangan nanti isinya jadi absurd, “Barang branded maksimal boleh dipamerkan tiga kali sebulan”, atau “Postingan Instagram dilarang memperlihatkan tas lebih dari harga Avanza bekas.”

Yang jelas, usulan ini bikin kita semua jadi mikir, apakah flexing memang masalah negara yang harus diselesaikan dengan UU? Atau cukup diselesaikan dengan common sense dan rasa malu?

Kalau menurut Anda bagaimana? Perlu beneran ada UU Anti-Flexing, atau biarkan saja jadi urusan kode etik partai?

Foto: Istimewa

Bagikan