5 Warga Asing yang Membantu Indonesia Meraih Kemerdekaan


Dari Tadashi Maeda yang membuka pintu rumahnya untuk naskah proklamasi, hingga Bob Freeberg sang pilot Amerika yang rela mempertaruhkan nyawa—kisah mereka membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan universal.

Untitled design

Sejarah Indonesia bukan hanya ditulis oleh darah dan keringat putra bangsa, tetapi juga oleh tangan-tangan asing yang memilih membelot dari negaranya sendiri. Di balik gema Proklamasi 17 Agustus 1945, ada mereka yang datang dari Tokyo, Glasgow, hingga Kansas. Ada yang rela rumahnya dijadikan tempat lahirnya naskah proklamasi, ada yang suaranya menembus udara lewat siaran radio, ada pula yang mengorbankan nyawa di medan tempur dan langit Nusantara.

Nama-nama itu mungkin tak sering kita dengar, namun jejak mereka tak pernah pudar. Mereka bukan sekadar tamu di tanah jajahan, melainkan sahabat seperjuangan. Tadashi Maeda, K’tut Tantri, Ichiki Tatsuo, Tomegoro Yoshizumi, dan Bob Freeberg—lima sosok asing yang hatinya berpihak pada republik muda bernama Indonesia.

Merekalah bukti bahwa kemerdekaan bangsa ini bukan hanya urusan sebuah negeri, tetapi gema universal tentang kebebasan manusia.

Untitled design 42

Tadashi Maeda (1898–1977)

    Sebagai Laksamana Muda Angkatan Laut Jepang, Tadashi Maeda semestinya tunduk pada perintah negaranya. Namun hati nuraninya memilih Indonesia. Ia bersimpati pada cita-cita kemerdekaan setelah mengenal para tokoh pergerakan seperti Achmad Soebardjo dan Hatta.

    Pada malam 16 Agustus 1945, pasca peristiwa Rengasdengklok, Maeda membuka rumah dinasnya di Jalan Teuku Umar (kini Jl. Imam Bonjol No. 1, Jakarta) sebagai tempat aman untuk menyusun naskah proklamasi. Di sanalah Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh lain menuliskan kalimat bersejarah: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.”

    Maeda sendiri kemudian dianugerahi Bintang Jasa Nararya atas jasanya, sebuah penghormatan yang menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia juga lahir dari sikap berani seorang perwira Jepang.

    Untitled design 41

    K’tut Tantri (1907–1997)

      Lahir dengan nama Muriel Stuart Walker di Skotlandia, ia datang ke Bali pada 1932, lalu diangkat sebagai anak oleh raja setempat dan diberi nama K’tut Tantri.

      Saat revolusi pecah, K’tut Tantri berdiri di garis depan informasi. Ia menjadi penyiar radio “Voice of Free Indonesia” dengan bahasa Inggris, menyasar pendengar dunia internasional. Dari Surabaya, ia bersuara lantang menyiarkan perjuangan arek-arek Suroboyo melawan pasukan Sekutu.

      Suaranya begitu kuat sehingga media Barat menjulukinya “Surabaya Sue”. Ia juga menulis pidato pertama Bung Karno dalam bahasa Inggris. K’tut Tantri membuktikan, kemerdekaan Indonesia tak hanya diperjuangkan dengan senjata, tapi juga dengan kata-kata yang mengguncang dunia.

      Untitled design 43

      Ichiki Tatsuo (1906–1949)

        Ichiki Tatsuo datang sebagai bagian dari pendudukan Jepang, namun hatinya berpihak pada Indonesia. Haji Agus Salim memberinya nama “Abdul Rachman” sebagai bentuk penghargaan. Ia kemudian menjadi penasihat Divisi Pendidikan PETA, sebelum akhirnya terjun langsung sebagai Wakil Komando Pasukan Gerilya Istimewa di Semeru, Jawa Timur.

        Ia gugur ditembak Belanda di Malang pada 9 Januari 1949. Presiden Soekarno kemudian memperingati jasanya di Jepang dengan monumen Sukarno Hi, bertuliskan: “Kemerdekaan bukanlah milik bangsa saja, tetapi milik semua manusia.”

        Untitled design 44

        Tomegoro Yoshizumi (1911–1948)

        Berawal sebagai wartawan sekaligus mata-mata Jepang, Yoshizumi justru membelot untuk membantu republik muda Indonesia. Ia dikenal dengan nama sandi “Arif” di kalangan pejuang.

        Yoshizumi gugur di Blitar pada 10 Agustus 1948. Namanya kini diabadikan di Taman Makam Pahlawan Blitar. Baginya, Indonesia bukan sekadar tempat penugasan, melainkan tanah air kedua yang pantas diperjuangkan hingga titik darah terakhir.

        Untitled design 45

        Bobby Earl Freeberg (1921–1948)

          Bob Freeberg, pria asal Kansas, Amerika Serikat, awalnya adalah pilot Angkatan Laut AS di Perang Dunia II. Takdir membawanya ke Indonesia, di mana ia menerbangkan pesawat Dakota C-47 yang kemudian terdaftar sebagai RI-002—salah satu pesawat pertama milik Republik.

          Bob bukan sekadar pilot bayaran. Dalam surat-suratnya ke Amerika, ia menuliskan simpati mendalam pada perjuangan Indonesia. Sayangnya, 1 Oktober 1948 menjadi penerbangan terakhirnya. Pesawatnya jatuh di Lampung Utara. Hingga kini, jasad Bob tidak pernah ditemukan.

          Bagi Presiden Soekarno, Bob adalah “teman dari Amerika, orang yang idealis dan ditakdirkan datang untuk membantu perjuangan Indonesia.”

          Kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil perjuangan satu bangsa saja, melainkan gema solidaritas yang menembus batas. Tadashi Maeda, K’tut Tantri, Ichiki Tatsuo, Tomegoro Yoshizumi, hingga Bob Freeberg adalah bukti bahwa nilai kemerdekaan adalah milik semua umat manusia.

          Mereka datang dengan latar berbeda, namun menyatu dalam satu tujuan: melihat Indonesia berdiri tegak sebagai bangsa merdeka. Pada peringatan 17 Agustus ini, mengenang jasa mereka berarti merawat ingatan bahwa kemerdekaan adalah anugerah yang harus terus dijaga dengan keberanian, persatuan, dan rasa kemanusiaan yang universal.

          Fakta Singkat

          Tadashi Maeda → Menyediakan rumahnya untuk perumusan naskah proklamasi.

          K’tut Tantri → Penyiar “Voice of Free Indonesia”, dijuluki Surabaya Sue.

          Ichiki Tatsuo → Diberi nama Abdul Rachman oleh Haji Agus Salim.

          Tomegoro Yoshizumi → Gugur di Blitar, dimakamkan di TMP.

          Bob Freeberg → Pilot Amerika, menerbangkan pesawat RI-002, jasadnya tak pernah ditemukan.

          Bagikan